3. Kuning - Kuning

8.3K 879 43
                                    

3. Kuning - Kuning

Sejujurnya, Regan tidak begitu ingat detail rumah papa mama, sebab lebih banyak menghabiskan hidup di luar rumah. Saat kecil di rumah nenek di Singapura, saat remaja di asrama, dan saat dewasa di Amerika. Jadi kalau ditanya, apakah Regan rindu rumah, Regan tidak yakin akan menjawab 'iya'. Tidak banyak kenangan yang menuntunnya untuk merindukan rumah ini. Kecuali, satu pohon jambu yang dia tanam sebelum dikirim ke rumah nenek. Saat itu usianya 10 tahun. Regan sempat pulang ketika pohon itu sudah tumbuh tinggi, dan mengukir inisial namanya di sana. Karena itu, ketika pulang, yang Regan hampiri selain Mama Papa dan Chirina, adalah pohon jambu. Dan tepat seperti dugaannya, pohon jambu itu tumbuh besar, rindang, dan lebat. Tidak sia-sia Regan menanam dan mewanti-wanti mama papa agar tidak menebangnya. Lebih tidak sia-sia lagi sebab kini dia tahu ada yang begitu menyukai buah jambu yang dia tanam. Meski sepertinya mulut gadis si penyuka jambu itu agak tidak sopan.

"Jadi, Putri, kenapa kamu melempariku jambu?"

"Gak sengaja, Tuan. Lagian Tuan langkahnya gak kedengaran."

"Kamu menyalahkanku?"

"Tidak, Tuan. Tadi, kan, Tuan nanya."

Regan tersenyum miring. Sulit baginya untuk mempertahankan tampang lurus begitu mendapati respon gadis itu. Ditengoknya halaman samping dari balkon lantai dua kamarnya yang kini dia diami.

Tok! Tok!

Lalu disesapnya segelas white wine di tangan. "Masuk."

"Tuan, ini pakaian untuk nanti malam. Saya taruh di mana?"

Melalui pintu balkon yang terbuka, Regan tunjuk tempat tidurnya dengan dagu. "Di sana."

Pelayan, yang sayang sekali bukan gadis tidak sopan itu, membungkuk hormat usai meletakkan pakaian Regan dan keluar tidak lama kemudian.

Dari tempatnya berdiri, Regan mendapati si gadis tidak sopan itu justru keluar dari parkiran khusus motor para pekerja di bawah sana. Jaket dan kaus yang dikenakannya kuning, vespa yang dinaikinya kuning, helmnya kuning, sepatunya juga kuning, pita dirambut berkepangnya juga kuning. Hanya jinsnya saja yang berbeda warna, navy.

Regan mengernyitkan dahi.

"Malem juga masih macet? Payah." Lampu merah. Regan membuka jendela kaca mobil, menjulurkan sebelah lengannya dengan sebatang rokok menyala terapit di jemari.

"Hujan baru reda. Kalo panjang begini dari pintu tol biasanya." Niel, kawannya yang menyetir, menjawab.

Tidak Regan tanggapi lagi. Perempatan lumayan ramai dengan klakson bersahutan dan kerlip lampu yang menyala terang dari berbagai bangunan dan kendaraan.

"Kalo bokap nyokap lo tau lo pulang, gue angkat tangan. Misi gue cuma nyembunyiin elo. Selebihnya tanggung sendiri."

Regan menyungging kecil. Mengisap lagi rokok.

"Lagian tumben amat mau nemuin cewek. Udah bisa jatuh cinta lo?"

"Gue mau ngambil sesuatu."

Niel mengerutkan dahi. Namun tidak bertanya lagi. Lampu lalu lintas kembali menyala hijau. Pajero putih yang mereka naiki kembali melaju, belok ke kiri jalan yang untungnya ramai lancar.

"HEY SETAN!! BERENTI GAK LO!?!"

Regan dan Niel terkesiap. Beruntungnya lengan Regan sudah tidak lagi terjulur keluar. Avanza putih melaju cepat di sampingnya, nyaris menyerempet bodi mobil. Berikutnya vespa kuning mengejar. Klakson dan raung motor nyaring terdengar. Teriakan serta makian pun lolos dari mulut si pengendara. Niel melambatkan laju mobil, dan Regan mengamati aksi kejar-kejaran itu.

[✓] TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang