33. Kepergian - Kepulangan

4.6K 564 6
                                    

33. Kepergian - Kepulangan

Jika Regan adalah penangkal segenap kesesakan Putri dari rasa kehilangan, maka ketika Regan pergi, penangkal itu pun tidak lagi berfungsi. Rasa sesak, kehilangan, penyesalan, marah, takut, cemas, seolah berbondong datang, silih berganti dan berebut untuk menempati posisi paling dominan dalam kepalanya. Kini bahkan bertambah, sebab kesesakan yang ditimbulkan atas rasa kehilangan si penangkal itu sendiri merupakan yang paling besar.

Mereka sepakat hanya dua tahun.

"Ya kalau kangen banget nanti aku nyelinap pulang diam-diam." Begitu katanya.

Saat itu Putri terkekeh. Namun kini, ketika telah berpisah jarak dan dirinya termenung sendirian, jangankan terkekeh, senyum saja Putri tidak bisa.

Mobil memasuki tol. Putri menyewa mobil Mas Rendra untuk pindahan. Harusnya suami dari kawannya itu yang menyetir, tetapi kedai mereka yang sedang ramai-ramainya tidak bisa ditinggal, dan adik dari Mas Rendra lah yang ditunjuk untuk menyopiri Putri pulang ke Bandung. Namanya Farid. Pria yang sedang berada di tahun terakhir perkuliahan itu fokus menyetir. Lena benar, adik iparnya tersebut pendiam dan hanya bicara ketika diajak bicara duluan. Tapi bukan tipe pendiam yang bikin canggung kok. Buktinya Putri nyaman-nyaman saja meski mereka tidak mengobrol dan dirinya melamun sepanjang jalan.

"Tari, aku penasaran sama kanada."

"Hm? Kenapa sama kanada?"

"Di sana asal daun maple kan ya?"

"Ah, Kakak suka daun maple?"

"Iya. Nanti, kalau udah keluar dari sini, ayo ke sana?"

Terlalu banyak nanti. Terlalu banyak janji. Satu pun tidak ditepati.

"Lebih baik kamu mati daripada berakhir sama Regan! Matiiiiiiiii!"

Putri terpejam. Diusapnya perut penuh bekas luka tusuk dan jahitan dari balik kaus. Sorot marah Briena masih terbayang. Jerit frustasinya juga masih terngiang. Sakit yang Putri rasakan ketika pisau miliknya itu menusuk-nusuk perut pun masih amat terasa. Lebih dari sakit, sebab yang menancapkan pisau itu sosok yang begitu dia sayang. Putri hanya tidak mengatakannya saja pada Regan, bahwa sebenarnya, rasanya sungguh menyakitkan dan menakutkan. Kadangkala terbawa sampai mimpi dan membuatnya terbangun saat dini hari.

Dengan situasi saat ini, Putri bisa saja ke Singapura untuk menjenguk Briena diam-diam, tanpa sepengetahuan Regan. Namun, Putri belum sanggup. Bukan karena marah apalagi benci, tetapi menemui Briena, menatap nisannya, hanya akan menambah kesesakan yang kini masih menggelayut begitu kuat. Beberapa realita kadang terlalu sulit untuk diterima ketika kehilangan membuat patah dan layu separuh jiwa. Mungkin nanti, ketika rasa bersalah dan penyesalan itu mampu dia ajak berdamai, ketika kepergian Briena lebih mampu dia terima, Putri akan menemuinya dengan jiwa yang lebih damai dan rela.

**

Kebun teh terhampar luas sejauh mata memandang. Sejuk seketika menelusup begitu rumah yang dituju semakin dekat. Putri tersenyum. Ingat beberapa tahun pada masa kecilnya yang dia jalani di kota ini.

"Lo pernah ke tengah-tengah itu gak?" tanya Putri pada Farid. Ditunjuknya tepat ke tengah-tengah perkebunan teh luas di samping mobil mereka yang sedang melaju pelan.

"Enggak kalo ke tengah-tengah itu. Tapi sering ke sini sih. Hangout."

Putri berooh sambil manggut-manggut. "Hangout sama temen emang seru sih. Sambil swafoto. Bandung memang terlalu instagramable untuk diabaikan."

"Gue sendiri kok."

"Hng?"

"Gue ke sini sendiri. Kalo lagi suntuk. Ngajak temen malah abis energi gue."

"Ah ... lo introvert ya? Iya, sih. Untuk recharge, kita memang harus menyendiri."

"Lo gak keliatan kayak introvert."

"Iya? Wah! Emang gue keliatannya gimana?"

"Ngoceh terus. Mbak Lena sama Mas Rendra sering ketawa kalo deket lo."

Putri tertawa pelan. "Itu sih karena gue gemesin. Ya, kan?" Ditengoknya Farid sambil menaikturunkan dua alis.

Dan Farid pun terkekeh kecil sambil geleng-geleng kepala. "Iya. Kayaknya." Dia putar kemudi ke kiri. "Jalannya udah lebih bagus. Gue pernah ke sini, tapi belum semulus ini."

"Lo ke sininya taun berapa? Ini 2022, Bro! 60 hari lagi udah 2023. Ckck. Waktu cepat berlalu."

Farid tersenyum tipis. "Iya."

Putri tengok lagi sekeliling jalan yang mereka lewati. Satu yang dia sukai dari Bandung adalah, hawa sejuknya. Entahlah. Sepertinya Putri sangat cocok dengan tempat bercuaca dingin, salju juga boleh. Saat cuaca dingin, kulitnya selalu lembab otomatis tanpa harus menggunakan pelembab dan sunscreen, terus lebih putih dan bening juga tanpa skincare. Keren, kan! Hmm, apakah ini tanda-tanda bahwa dia cocok juga untuk menetap di negeri yang bersalju? Korea? Nanti ketemu pacar dong! Wah-

"Kayaknya gue bakal sering hangout ke sini."

"Ya?" Putri tengok Farid. Terlalu fokus berkhayal sampai tidak dengar. Namun Farid hanya tersenyum sambil menggeleng pelan.

Hngghh! Kok mencurigakan! Putri menyipit.

"Sampai." Farid mengerem perlahan. Dan Putri menoleh lurus ke depan.

Itu rumah kecil sederhana impian mami dan dirinya, bersebelahan dengan rumah tante ismi. Dan Mami serta kawan baiknya itu baru pulang dari ladang, wajah mami lelah, tetapi begitu cerah. Putri terdiam. Netranya tanpa sadar tergenang airmata. Putri tahu Farid memandanginya. Mungkin heran pada perubahan moodnya yang cepat. Namun Putri tidak peduli. Segera Putri turun dari mobil dan menggapai Mami.

"Mami!"

Mami yang sedang asik mengobrol, menoleh, terperangah, terpaku beberapa detik, lalu tersenyum, lembut sekali.

Putri pun tersenyum karenanya. Segera dihampirinya Mami, lalu dipeluknya Mami sepenuh hati.

"Akhirnyaaaaa anak gadis Mami pulang juga." Mami tersenyum lembut seraya mengusap-usap punggung Putri penuh kerinduan. "Beneran pulang kan kali ini?"

Putri mengangguk."Iya."

***

Sisa beberapa chapter lagi.
SIAPKAN HATI KAMU!! HM!!

[✓] TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang