-Cadence-

79 25 5
                                    



(34)






Woori, perempuan yang sudah dipanggil nenek itu berdiri di depan pintu apartemen. Tangannya tidak ragu ketika harus menekal bel. Ia tidak akan menahan diri lagi..
Begitu terbuka, orang pertama yang menyambutkan adalah lelaki yang belum pernah ditemuinya. Namun ia sangat mengenal wajah itu.. wajah milik lelaki yang menjadi kekasih anaknya.

“Selamat pagi, Sebin ssi…”

“Nyonya??”

Woori melengkungkan bibir, ia tahu apa yang ada dalam pikirnya “Aku ingin menemui anak dan cucuku..”

“Ah..? Euhm…” angguknya, karena ia tidak tahu mesti bagaimana. Memberikan kesempatan seorang ibu masuk ke tempat mereka dan memperlakukannya dengan sopan.
“Tunggu sebentar Nyonya..”

“Terimakasih..”






Grep!!
Woori berlari begitu melihat Ryu, memeluknya erat dengan air mata kerinduan “Ibu merindukanmu… maaf….”

Ryu sempat tertegun, namun ia membalas pelukan itu. Satu-satunya yang tidak ia benci adalah ibunya. Ryu tahu persis, sungguh sulit posisi Woori saat itu. Walau ia sempat kecewa, namun ia tahu.. diam-diam sang ibu memantaunya dari jauh.

“Ibu, bagaimana… bagaimana bisa…?”

“Ibu tidak peduli lagi dengan keputusan ayahmu. Walau dia suamiku, tapi sikapnya sudah membuatku marah. Dia memisahkan kita.. Ibu tidak akan mengikutinya lagi… hiks… Ryu.. adeul, maafkan ibu.. sungguh…”

Ryusang menggeleng keras “Tidak, ibu tidak salah…” ucapnya “Aku juga merindukan ibu.. sangat” lalu kembali pelukan itu erat.

Adegan itu tepat didepan ketiga pasang mata yang juga turut haru..

“Donghae-ya…” Woori menatap satu-satunya yang paling kecil diantara mereka, remaja yang membuatnya teringat akan Eunsang “Maafkan nenek, tidak bisa membelamu…” dengan kedua tangan yang gemetar ia mengusap lembut wajah Donghae..

Matanya berkaca-kaca…

“Maaf…” ucapnya lirih “bahkan nenek tidak pernah menyentuhmu atau menggendongmu.. kini kau sudah tumbuh dengan baik.. terimakasih.. kau cucu nenek yang tampan juga.. kebaikan hatimu persis seperti Eunsang. Walau dia keras kepala….”

“Donghae juga keras kepala!” Celutuk Yubin yang entah kenapa malah ikut bicara.

“Yubin!! Omong kosong!!” Donghae tak terima, bisa-bisanya dia merusak suasana haru pagi itu.

Woori tertawa kecil. Lama sekali ia ingin mendengar suara pertengkaran seperti itu. Andaikan semua cucunya bisa bersama, bisa dipastikan kericuhan terjadi setiap hari. Sayangnya, semua terlambat. Bahkan masa kecil Donghae saja, ia melewatkannya.

Dibelainya wajah itu lembut, “ijinkan nenek memelukmu…”

Tentu saja Donghae tidak akan menyiakan kesempatan ini. Walau kemarin ia bertekad tidak lagi ingin berhubungan dengan keluarga Jung, tapi baginya wanita didepannya harus dihormati. Wanita yang sama seperti ibunya. Yang pelukannya menghangatkan hati..

“Boleh aku panggil nenek walau mungkin kita tidak lagi menjadi keluarga?”

“Namaku Park Woori, walaupun orang sering menyebutnya Nyonya Jung. Jika kau tidak menyukai nama itu.. panggil nenek dengan nama yang sebenarnya..” katanya sambil memeluk erat Donghae, mengusap lembut punggung kepalanya dengan kasih sayang “dengan begitu kau tidak harus memikirkan masalah keluarga Jung saat kita bertemu..”

“Nenek~ hiks…”

“Euhm… ini nenek..”

“Aku tidak mau jadi cengeng! Nenek.. sudah, bagaimana kalau kita sarapan bersama? Paman Sebin membuat menu yang enak pagi ini..”

Haha!
Ryu mencibir…
“kelakuan aslimu keluar eoh? Dasar manja!!”

“Aku punya hak untuk itu Paman, bukankah aku yang peling kecil disini?”

“Sudahlah… terserah kau saja!!”






Woori menatap mereka satu-per-satu. Suasana menyenangkan yang selama ini didambakan, rupanya ada diantara mereka.

“Ibu tidak menyangka, jika kalian sangat bahagia disini.. maafkan aku, sempat berpikirkan buruk tentangmu Sebin ssi.. Ryu benar, pilihan hidup itu milik kalian. Walau hubungan itu salah, tapi tidak ada yang salah dengan cinta.. asalkan kalian bertanggung jawab dengan pilihan itu..”

“Terimakasih ibu, panggil saja Sebin.. tidak perlu memikirkan hal lain lagi..” dengan senang hati kekasih Ryu itu menyambut “Ah, iya.. ini adikku Yubin..”

“Euhm.. terimakasih kalian sudah menemani Ryu dan Donghae. bahkan disaat terberat dalam hidup mereka. tidak kusangka justru kalian yang malah ada untuknya..”

“Ibu, sudah..”
………… “kami tidak mempermasalahkan itu lagi. Ibu sudah tahu semua, juga tentang keputusan kami. Aku tidak melarang ibu menemuiku atau Donghae… bagaimanapun kau tetap ibu yang melahirkanku” sendu Ryu “tapi, aku tidak ingin ibu dan ayah bertengkar karena hal ini… aku takut ayah akan melukai ibu..”

Woori paham “Bahkan disaat seperti ini kau masih memanggilnya ayah?”

“Aku memang pergi dari keluarga Jung. Tapi dia tetap ayahku.. ibu tenang saja, walau kami tidak cocok.. aku tidak akan membencinya.. aku hanya marah..”

“Euhm…”






⌛-ħīŕāėŧĦ-⌛






Mereka akan tetap seperti itu.. Woori tidak ingin mengambil resiko lebih. Cukup dengan ia bisa bertemu anak cucunya, ia akan bertahan. Berharap suatu saat suaminya, bisa membuka hatinya..

Namun keberanian Woori tidak dimiliki Dohwan. Yang sejak kemarin meratap tanpa perbuatan. Berdiam diri di rumah mereka. Bahkan ia mulai bertanya, mungkinkah ia sudah menjadi dokter yang baik?
Ia terbiasa menolong orang lain yang terluka..
Tapi, ia mengabaikan keluarganya sendiri yang penuh luka..

“Mengapa aku jadi orang yang bodoh?” gumamnya “bagaimana bisa aku menjadi dokter sementara otak yang kumiliki tidak sampai ke hati? apa sekarang karma untukku? Aku benar-benar tidak bisa mendekatimu Hae….?” Monolognya.

Tatapannya sendu pada foto masa kecil Donghae. Satu-satunya yang ia miliki. Terakhir kali ia mengambil gambar dengan adiknya.

“Tidak-tidak…. Aku tidak akan membiarkan ini terus begini. Aku sudah jatuh tapi aku tidak mau jatuh lebih dalam.. ya, aku harus menemuinya..”

Maka dengan cekatan ia menyambar jaket tebalnya. Ia tidak ingin pikirannya berubah. Niatnya menciut..
Jadi, ia harus menemui adiknya saat itu juga..






⌛-ħīŕāėŧĦ-⌛






Biarlah ia mengharap maaf sekarang. Dohwan berdiri di depan pintu yang sama seperti Woori tadi pagi. Namun ia berdiam. Tidak melakukan apapun.
Hampir satu jam dan hanya begitu..

Mengapa hatinya tidak cukup kuat? Hanya menemui adiknya saja seakan bertemu malaikan maut? Atau ia sendiri belum siap jika mendapatkan respon lain?

“Memangnya kenapa?” tiba-tiba seseorang bicara. Dohwan memutar tubuhnya kaku.. ia baru saja berhadapan dengan Ryu? Pamannya?

“Tidak perlu banyak pikiran jika hanya ingin meminta maaf. Bukankah itu maksud kedatangmu dokter Jung? Adikmu tidak seburuk yang kau pikir. Ia sudah lama menunggu kakaknya, walau aku tidak tahu bagaimana ia bersikap nanti..”

“…………………”

“Tapi meski begitu, daripada memikirkan bagaimana ia merespon kedatanganmu.. lebih baik mencoba dulu kalau memang niatmu baik..”
Entahlah.. Dohwan yang pintar itu kini menjadi seorang pengecut..??












◼◻◼
tbc
◼◻◼◻◼

28 Agustus '22

HIRAETH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang