BONUS CHAPTER

280 24 1
                                    

—Satu tahun setelah cerita selesai—

Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 07

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 07.17 malam dan Raga sedang mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Beberapa saat yang lalu dia baru pulang ke rumah Oma setelah seharian mengerjakan tugas kuliah di perpustakaan kampus sebelum menghadapi UAS satu minggu yang akan datang. Tentu saja pasti menguras tenaga juga pikiran. Namun, fokusnya teralihkan ketika ponselnya berdering. Tangan yang tadinya memegang hairdryer kini berubah memegang ponsel.

"Halo," sapa Raga kembali menyimpan ponselnya dan menyalakan fitur pengeras suara karena harus merapikan dan menyimpan benda yang selesai digunakannya. Jika ditunda berpotensi lupa.

"Kak, mau pulang kapan?" tanya Bintang di seberang sana tanpa membalas sapaan sang kakak dan basa-basi terlebih dahulu.

Alih-alih menjawab. Raga memilih menggoda adiknya dengan pertanyaan, "Kangen, ya?"

"Bunda."

"Oh Bunda. Lo sendiri nggak kangen?"

"Sedikit. Lebih ke kangen berantem sama lo aja."

Raga tersenyum mendengar balasan ungkapan itu. Di mata kedua orang tuanya, mereka seringkali mendebatkan apa pun. Tidak dapat disangkal juga, Raga merindukan hal yang sama. Rindu mengganggu Bintang dan beradu argumen tidak penting dengannya. Suatu hal yang dirasa menyebalkan akan dirindukan ketika tidak bisa terulang kembali.

"Tolong bilangin sama Bunda, gue pulang setelah UAS. Nanggung soalnya, sebentar lagi. Lagian biasanya Bunda sendiri yang nanyain, kok tumben lewat lo?" Setelah mengatakan itu dia beranjak membuka lemari baju dan mengenakan hoodie berwarna mint untuk melindungi dirinya dari hawa dingin yang beberapa hari menyerang Bandung karena sebelumnya dia hanya mengenakan kaus lengan pendek.

"Bunda lagi nggak ada kuota kali, soalnya tadi minta tolong sama gue. Terus maksud nanya begitu, apaan? Nggak mau ngobrol sama gue?" Terbayang begitu mudah raut wajah Bintang di kepala Raga ketika mengatakan kalimat tersebut.

"Gue nggak ada bilang kayak gitu, tapi kayaknya iya. Lo berisik abisnya." Kali ini dia membawa ponselnya ke meja tempat beberapa buku dan laptopnya berada, lalu meletakkannya tepat di samping laptop yang sebentar lagi akan menemani menghabiskan malam Sabtu bersama dengan tugas yang selalu menanti.

"Nggak tau, ah. Gue ngambek sama lo! Matiin aja teleponnya! Kenapa kakak gue harus lo, sih? Bukan yang lain aja."

Mendengar nama Mark disebut, Raga teringat dengan sesuatu yang dibelinya pekan lalu. "Kalo dimatiin, photo card Mark gue jual lagi, deh."

"Tunggu-tunggu. Maksudnya lo punya photo card pacar gue? Kok bisa?" Nada bicara yang awalnya terdengar kesal bisa dengan cepat berubah hanya karena mendengar sesuatu yang disebut oleh sang kakak.

"Jadi kemarin ada temen yang jual gitu, gue beli aja buat seseorang. Sayangnya, barusan dia bilang nyesel punya kakak kayak gue, jadi lebih baik gue kasih ke orang yang jauh lebih membutuhkan."

Virtualzone [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang