Kalil

194 38 4
                                    



Sebagai seorang kasir minimarket gaji Kalil memang tidak besar, itu sesuai dengan bidang pekerjaanya yang tidak terlalu sulit. Pekerjaannya juga tidak memakan waktu yang sampai membuatnya kelelahan. Intinya gaji yang ia dapatkan sesuai dengan apa yang ia kerjakan.

Hidup bertiga bersama Kakak dan Keponakannya tanpa ada sosok laki-laki dalam keluarga, membuat mereka bertiga saling bergantung, tidak ada yang berperan sebagai pemimpin dengan tanggung jawab lebih besar dari lainnya. Mereka memiliki porsi yang sama, Kakaknya adalah staf produksi di sebuah perusahaan makanan, sementara keponakannya yang masih sekolah dasar juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kebersihan rumah. Semua tugas sudah dibagi sama rata sesuai kemampuan masing-masing, tidak ada saling cekcok mengenai hal tersebut. Mereka adalah tiga perempuan yang saling melengkapi satu sama lain.

Keadaan hidupnya berubah saat Kalil lulus dari universitas, Kakaknya memilih bercerai dengan suaminya karena sudah tidak bisa bertahan dengan segala sikap suaminya yang kasar, pemarah dan egois. Kalil menghormati keputusan itu, karena ia tinggal bersama mereka dan juga melihat bagaimana Kakaknya diperlakukan sehingga keputusan untuk bercerai didukung oleh Kalil.

Namun semua tidak berakhir lega seperti yang diharapkan, beberapa minggu setelah perceraian kakaknya dihubungi pihak pegadaian bahwa sertifikat rumahnya sudah dijaminkan dan harus ditebus bila ingin sertifikat itu kembali, dari situ semua kesulitan bermula, Kalil dan sang kakak harus lebih menghemat pengeluaran demi dapat menabung uang guna menebus sertifikat rumah milik kakaknya lalu sekarang secara tiba-tiba ia malah terjerat masalah keuangan lagi dengan orang yang tidak dikenal.

"Sial sekali hidupku." Ucapnya lirih, ia sedang duduk termenung di kursi yang terdapat pada koridor lantai dua rumah sakit. Pria tinggi tadi menyuruhnya untuk menunggu di situ dan jangan berani kabur.

"250 juta? Aku ngerampok seisi minimarket punya bos juga gak akan bisa menutup hutang." Kalil memijat pelipisnya, kenapa pula ia nekat menjual jam tangan mahal itu? Memang benar sekarang dia sudah disebut maling, tindakannya benar-benar tercela. Mau ditaruh dimana mukanya nanti saat berhadapan dengan Lila. Lila pasti malu memiliki tante sepertinya.

Memikirkan hal tersebut membuat air mata Kalil tiba-tiba menetes, "Ugh ibu, anakmu ini sekarang pencuri." Kepalanya menunduk menatap ujung sepatu yang ia kenakan. Ia tidak akan memberikan pembenaran atas apa yang telah ia lakukan, tapi Kalil tidak tau harus apa jika sampai pria itu menuntutnya ke polisi. Kalil akan dipenjara atas tuduhan pencurian.

"Harusnya yang nangis tuh saya." Kalil menoleh ke sumber suara, pria bernama Hujan itu mengambil duduk di sebelahnya, memberikan beberapa lembar tisyu untuknya "Tenangkan diri kamu setelah ini kita bicara penyelesaian masalah kita." Kalil menurut, mengambil tisyu dan mengelap pipinya yang sudah banjir air mata.

"Operasi keponakan kamu udah selesai?" Kalil tidak tau, ia tidak bisa melihat pukul berapa sekarang "Harusnya selesai pukul dua siang." Hujan mengangguk

"Saya ga tau jam berapa sekarang, soalnya jam tangan saya dicuri orang." Ucapnya dengan penuh ledekan, semakin membuat rasa bersalah Kalil membumbung tinggi. Dia benar-benar orang yang bodoh dan tidak tau malu. Dan juga seorang pencuri.

"Maaf."

Hujan menghela nafas berat, dua hari ini banyak sekali masalah yang datang padanya, yang paling menyita pikirannya tentu saja keadaan kesehatan sang Kakek. Pria berumur lanjut itu tidak memiliki tanda-tanda hipertensi, pola makannya juga baik karena diawasi langsung oleh dokter pribadi keluarga mereka. Meskipun Hujan dan sang kakek tinggal di tempat yang berbeda tidak serta merta membuat Hujan abai dengan tidak memperhatikan kesehatan kakeknya. Tapi jika dipikir lagi, tadi dokter juga sempat mengatakan bahwa serangan jantung bisa dialami siapa saja tanpa gejala hipertensi sekalipun, istilah silent killer ternyata bukan hanya sebutan belaka.

"Kamu pernah kerja di panti jompo?" Hujan berujar memulai bahasan baru, kepalanya benar-benar pening.

"Saya belum pernah kerja sebagai perawat panti jompo, Mas." Hujan mengangguk menerima jawaban itu.

"Begini, saya coba memahami dan peduli dengan niat kamu untuk membayar hutang kamu. Alih-alih saya meminta ganti rugi berupa uang, saya memiliki opsi yang lain." Kalil menyimak dengan seksama, dia juga ragu bisa melunasi uang dengan nominal sebesar itu dalam waktu cepat, mungkin baru bisa lunas setelah Kalil mengumpulkan gajinya selama 3 tahun, itu mungkin terjadi jika ia mengumpulkan gajinya secara utuh.

"Saya ingin kamu bekerja merawat kakek saya di kediamannya." Kalil menatap Hujan dengan mata berbinar. "Bagaimana?"

"Saya bersedia! Walaupun saya ga punya pengalaman bekerja di panti jompo, tapi saya yakin saya bisa merawat orang berumur, saya pernah merawat keluarga saya yang sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Menjadi perawat kakek Mas, saya pasti bisa." Ucap Kalil bersemangat. Hujan dapat melihat kesungguhan di kedua bola mata gadis itu. Senyumnya terukir manis sembari mengangguk.

"Kakek saya masih bisa beraktifitas seperti biasa, kamu ga akan ngurusin kakek-kakek yang sudah ga bisa ngapa-ngapain, tapi saya minta kamu cukup datang pagi sampai sore memasak makanan buat kakek dan mengawasi kegiatannya sehari-hari, saat malam kamu bisa pulang." Kalil kembali mengangguk, "Oke, lusa kakek saya sudah keluar rumah sakit. Kamu bisa kasih kontak dan alamat kediaman kamu? Saya akan menghubungi dan jemput kamu kalau sudah waktunya." Hujan mengeluarkan smartphone nya.

Biarlah ia kehilangan 250 juta, setidaknya Hujan sudah memiliki orang untuk mengawasi kakeknya setiap hari, Hujan bisa menginap di rumah sang kakek saat malam. Mulai saat ini ia harus bisa membagi waktunya di tengah kesibukan, ia tak mau mengabaikan kondisi kakeknya sementara ia sibuk dengan berbagai urusan kantor, dengan adanya Kalil setidaknya ia bisa mengontrol olahan makanan seperti apa yang boleh kakek makan dan yang tidak boleh beliau makan juga mengetahui apa yang kakeknya lakukan selama ia bekerja. Kehadiran Kalil akan sangat membantu Hujan.

"Nama kamu siapa tadi?" Kalil memang sempat menyebut namanya tapi mungkin karena terlalu pening membuat lelaki itu kembali bertanya guna memastikan.

"Kalil."

"Saya Hujan." Kalil sedikit terkejut mendengar nama lelaki di sebelahnya ini, nama yang tidak pernah ia bayangkan akan disematkan pada seseorang. Hujan. Hujan. Hujan. Batinnya terus mengulang-ulang nama itu.

Ingatannya memutar jauh membawa kembali pada banyak kepingan kenangan di masa kecilnya dulu.

Hujan & Kalil

Kalil menyukai hujan.

Sejak kecil gadis itu akrab dengan hujan, tinggal di kota yang terkenal memiliki curah hujan yang tinggi membuat Kalil lama-lama menyukai hujan itu sendiri. Suasana yang dibawa bersamaan saat hujan turun adalah yang paling Kalil sukai.

Saat hujan, yang biasanya ia tak suka tidur siang, bila hujan turun maka dengan senang hati ia akan tidur siang. Kalil lebih suka mi goreng dan kurang menyukai mi kuah, tapi saat hujan Kalil akan makan mi kuah dengan lahap. Kalil malas sekali jika sudah diminta sang ibu menyiram tanaman, tapi berkat hujan ia jadi tidak perlu melakukan rutinitas tersebut.

Hujan membuat Kalil memahami bahwa hal-hal yang ia kurang sukai sebenarnya bukan karena Kalil kurang suka, tetapi belum menemukan momen yang tepat untuk menyukai hal tersebut. Hujan juga membuat Kalil jadi sadar hal-hal yang mungkin menurutnya buruk, padahal tidak seburuk itu.

Gadis itu kembali pada kesadarannya, bibirnya mengulas senyum tipis. Dia menyukai nama pria di sebelahnya.


--------------

05 September 2022

Akun karyakarsa: @yahuntise

Selamat Malam~

HUJAN & KALILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang