Childhood Friend

130 36 12
                                    

Hujan sebenarnya bukan pribadi yang terlampau dingin seperti apa yang dijabarkan oleh Kakek Lim tempo lalu saat mengobrol bersama Kakek Pan di kedai rotinya. Ungkapan bahwa Hujan tidak pernah menyapa perempuan lebih dulu adalah hal yang keliru. Tentu saja Hujan bukan orang dengan watak sedingin itu hanya untuk menyapa seorang perempuan.

Mana mungkin Hujan bersikap begitu dingin mengingat pekerjaannya yang harus bertemu banyak orang baru sebagai investor maupun klien kerja, tidak mungkin Hujan mengesampingkan kepentingan itu hanya karena sikap dingin sok keren baginya.

Terlepas karena kepentingan kerja dan profesionalitasnya, Hujan terkenal sebagai sosok yang hangat dan gentle, sejak sekolah tingkat junior sampai tingkat universitas Hujan memiliki cukup banyak teman meski tidak bisa dibilang dekat.

Perempuan yang tadi memeluknya adalah salah satu teman Hujan, cukup dekat. Dibanding dengan kenalannya yang lain.

"Oh hai? Siapa, Jan?" Ucap gadis berambut panjang tersebut saat melihat eksistensi Kalil yang sedang menatapnya di dapur, Kalil yang merasa tidak enak langsung menunduk -salah tingkah-

"Oh? Dia Kalil, yang bantu jaga Kakek di sini

"Kalil, kenalin ini Liana. Temen deket saya"  Kalil mengangguk menyapa dengan senyum hangat, begitu pula dengan wanita cantik yang dikenalkan sebagai Liana tersebut.

Cantik sekali.

Liana masih setia bergelayut di lengan Hujan, ia juga menyapa Kakek Lim dengan hangat dan dibalas senyuman Kakek Lim. Mereka berpindah duduk di ruang keluarga, Liana meletakkan beberapa paperbag yang ia bilang adalah oleh-oleh dari Paris.

Kalil mengantarkan tempura buatannya ke ruang keluarga setelah berkutat hampir 30 menit di dapur, "Wah, dimakan Liana. Masakan buatan Kalil adalah yang terbaik" pujian dari Kakek Lim, dibalas senyum antusias Liana

"Terimakasih, Kalil" itu suara Hujan, memandang Kalil dengan senyum khasnya. Kenapa khas? Karena menurut Kalil senyum tipis Hujan adalah senyuman yang berbeda, beberapa orang yang melihatnya akan mengira itu seringai dengan konotasi tidak tulus, padahal jika dilihat lebih dekat itu adalah jenis senyum malu-malu yang lucu.

Kalil suka melihatnya.

"Sama-sama, Mas. Silakan dinikmati" Kalil pamit kembali ke dapur, membereskan peralatan yang ia pakai untuk masak tadi. Sayup-sayup ia masih bisa mendengar obrolan 3 manusia di ruang keluarga tersebut.

Hujan & Kalil

"Gimana studimu di Pasis, Liana?" Suara Kakek Lim

"Lancar Kakek, Liana bulan depan mau launching brand fashion hehe. Hari ini sampai sebulan ke depan bakal diisi sama liburan Liana di sini" Liana adalah gadis yang penuh semangat

"Benar-benar berbakat ya." Hujan memuji dengan tulus, Kalil mendengarnya entah mengapa sedikit merasakan sensasi yang berbeda di hatinya, menyadari bahwa pujian itu ditujukan untuk Liana.

"Ngaca gih, Jan. Situ juga berbakat."

"Haha nggak juga" Hujan dengan hobi merendahnya.

"Mau liat lukisanmu dong, Jan?" Kakek Lim berdehem kemudian pamit pergi ke taman belakang.

"Kalil, temani saya ke belakang sebentar" Kalil mengangguk dan mengikuti Kakek Lim menuju taman belakang rumah. Kalil sudah tidak dapat mendengarkan obrolan kedua insan yang tertinggal di ruang keluarga.

Taman belakang rumah ternyata bukan hanya sekedar halaman kosong dengan rumput yang rutin dipangkas tiap sebulan sekali. Kakek Lim yang mempekerjakan para tukang pemangkas rumput tiap bulan. Disana juga ada beberapa pohon buah seperti buah jeruk dan mangga. Hari ini Kakek Lim meminta Kalil untuk membantunya memetik buah jeruk yang sudah menguning.

HUJAN & KALILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang