Melukis

146 36 8
                                    

Hujan dan Kalil adalah dua orang asing yang tidak mengenal sebelumnya, mungkin bahkan tidak memiliki keinginan untuk saling mengenal satu sama lain. Siapa yang ingin kehilangan jam tangan seharga 250 juta dalam semalam? Jika bukan Hujan, mungkin tidak ada yang menginginkan kesialan itu terjadi padanya.

Kalil dengan hidup yang sederhana harus menghadapi kemalangan yang tak terduga hingga pada akhirnya dipertemukan oleh Hujan melalui takdir yang cukup menggelitik perut. Kalil adalah sosok dengan rasa percaya diri yang rendah, Hujan sedikit memahami itu. Hujan tidak pernah bermasalah dengan orang-orang yang pemalu dan tertutup. Hujan malah akan dengan senang hati membantu mereka menampakkan emasnya, Hujan terlampau tahu orang-orang seperti itu memiliki banyak hal memukau yang tersembunyi.

Kalil yang tertutup dan Hujan yang suka tantangan.

Kalil itu indah, setidaknya bagi Hujan. Keindahan itu tidak akan memudar di mata Hujan.

Perjalanan pulang mereka dihiasi keheningan. Tidak lama, sampai Hujan memutar sebuah musik di audio mobilnya, berdendang ringan mengisi kekosongan suara di dalam kendaraan mahal nan nyaman itu, "Pestanya gak seburuk bayangan kamu, kan?" tanya Hujan tanpa mengalihkan perhatiannya dari kemudi. Kalil menoleh dan mengangguk kemudian menggeleng cepat.

"Saya gak membayangkan hal buruk soal pesta kok Mas" elaknya.

"Haha, ok. Kamu mau diantar sampai rumah? Ini sudah jam 9 malam."

"Taman kota aja, masih ramai."

"Saya kira kamu ga suka yang ramai-ramai."

"Beda Mas." Kalil mendengus setelahnya Hujan kembali tertawa, lagu lover dari Taylor Swift masih terus mengiringi perjalanan mereka. Kalil sungguh penasaran dengan hal ini sejak saat Kakek Lim menunjukkan hal yang indah beberapa hari lalu.

"Ngomong-ngomong Mas Hujan suka melukis, kah?" Hujan menoleh sebentar ke arah Kalil, kemudian mengangguk mengiyakan. "Saya dikasih lihat sama Kakek Lim, lukisan Mas Hujan indah sekali." Kalil tersenyum saat mengatakannya dan itu tidak luput dari pandangan Hujan.

Euforia itu hadir lagi di hati Hujan, perasaan yang menggebu-gebu. "Haha padahal gak sebagus itu kok, Kalil."

"Loh? Mas Hujan memang hobinya merendah ya, tapi serius bagus sekali."

"Makasih ya pujiannya."

Obrolan mereka berubah seiring waktu kadang membuat mereka tertawa terbahak ada juga hal-hal yang membuat mereka merenung saling berpikir tapi terlepas dari itu semua Hujan dan Kalil sudah sepenuhnya dekat tidak seperti sebelum-sebelumnya. Kakek Lim benar tentang satu hal yang ia ajarkan, kontak fisik hampir selalu membawa hal yang jauh mendekat termasuk rasa canggung yang perlahan memudar. Katanya itu juga jurus yang diajarkan Kakek Lim pada mendiang ayahnya saat mendekati sang ibu.

Hujan & Kalil

Pagi itu tepat saat Kalil memarkirkan sepedanya di garasi samping rumah Kakek Lim, ia dikagetkan dengan langkah rusuh dari arah dalam rumah. Kakinya buru-buru menuju teras rumah untuk menemukan Kakek Lim yang menyambutnya dengan senyum sumringah.

"Kakek? Kenapa? Kakek Lim baik-baik aja?" Kalil jelas khawatir, juga makin khawatir saat Kakek Lim menarik tangannya untuk segera memasuki rumah, membawa Kalil ke lantai atas di salah satu pintu kamar yang terbuka sedikit.

"Hujan melukis lagi."

Kalil terdiam hanya untuk mendapati pemandangan yang tidak jauh dari jangkau netranya, Hujan dengan ketelitiannya membuat sebuah lukis panorama yang indah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalil terdiam hanya untuk mendapati pemandangan yang tidak jauh dari jangkau netranya, Hujan dengan ketelitiannya membuat sebuah lukis panorama yang indah. Senyumnya merekah begitu saja.

Gadis itu enggan mengganggu lebih lama, menoleh ke Kakek Lim untuk memberikan senyuman, Kakek Lim mengangguk dan mereka berdua memilih kembali menuruni tangga menuju dapur, memberi waktu luang untuk Tuan pelukis merampungkan kegiatannya.

"Kakek senang sekali, akhirnya dia mau melukis lagi setelah sekian lama."

"Mungkin Mas Hujan memang sedang rindu kegiatan tersebut, Kek" balas Kalil dengan nada ringan, berjalan menuju dapur untuk mulai memasak

Kakek Lim juga berakhir di ruang keluarga, membuka koran yang sempat ia lipat tadi. Berawal di pagi hari yang berbeda, biasanya Kakek Lim selalu disambut dengan Hujan yang sibuk membuat kopi tapi pagi ini tidak, lelaki yang lebih tua memanggil manggil nama sang cucu namun tidak mendapat jawaban sehingga menariknya untuk menelusuri rumah mencari keberadaan Hujan, yang ternyata sedang asik melukis di ruangan yang sudah lama menjadi gudang tersebut.

Hujan dan hasrat melukis telah lama tidak terlihat, membuat Kakek Lim terlampau bahagia.

Dulu saat remaja Hujan selalu menceritakan bagaimana kecintaannya terhadap kegiatan tersebut, anak itu selalu memiliki imajinasi yang setinggi langit, melukis berbagai hal dengan berbagai warna. Kadang sulit dimengerti oleh penglihatan Kakek Lim tapi lama-lama Kakek Lim melihat daya tarik sendiri dari lukisan-lukisan Hujan.

Mungkin memang tidak semenakjubkan karya seni buatan para maestro, tapi cukup membuat Hujan senang dan bangga adalah apa yang dicari Kakek Lim.

Melakukan sesuatu yang disukai meski itu kadang tidak terlihat keren sekalipun akan tetap membawa kebahagiaan tersendiri. Kakek Lim memahami hal itu lebih dari baik.

"Kalil udah dateng?" Hujan berucap sembari menuruni tangga, pertanyaannya itu langsung mendapat jawaban saat melihat Kalil di dapur yang sibuk membuat adonan tempura

"Oh hai?" Sapa Hujan, Kalil balas dengan senyuman sehangat matahari pagi. Hujan dengan kaos rumahan adalah paduan terbaik yang pernah Kalil jumpai.

Terlihat santai tanpa beban.

"Hari ini gak kerja, Mas?"

"Suasananya lagi bagus buat males-malesan di rumah, Kalil" Hujan mengambil botol susu di pintu kulkas dan menuangkannya ke gelas.

Kakek Lim tertawa kemudian menyahut "Hujan berasa perusahaannya punya dia"

"Mas Hujan kerja dimana memang?" Kalil hanya bertanya bukan dengan rasa penasaran yang tinggi, kalaupun tidak dijawab ia akan baik-baik saja. Hanya basa-basi

"Aku? Mm- apa ya sebutannya? Pegawai hotel." Kalil mengangguk mengerti. Pegawai hotel sekarang benar-benar punya standar yang tinggi. Memperkerjakan orang dengan wajah semenarik Hujan pasti memberikan banyak keuntungan.

"Kamu mau bikin apa?" Hujan menelisik dengan matanya, kepo dengan kegiatan Kalil pagi ini.

"Tempura"

"Udang?"

"Iya, sama ada beberapa sayuran dan ubi, Mas"

"Wow. Pasti enak"

Kalil hanya tersenyum, dalam hati mengamini kalau memang jadi enak nantinya. Kegiatan mereka terhenti saat mendengar suara seorang perempuan memanggil di depan rumah.

"Wah? Tamu mu, Jan?" Kakek Lim bertanya dengan menoleh ke arah cucunya tersebut, Hujan mengendikan bahu. Seingatnya hari ini dia sudah bilang akan off bekerja sehari kepada para karyawan di resort, lalu siapa yang tiba-tiba bertamu?

"Suaranya kayak ga asing."  Ucap Hujan, Kakek Lim hanya mengangguk menyetujui, lain halnya dengan reaksi Kalil dengan tangan yang masih sibuk mengaduk adonan tempura, matanya sedikit menelisik ke arah pintu depan.

Hujan melangkah menuju ruang tamu namun belum sampai ia menemui si tamu, seorang wanita muncul secara tergesa hanya untuk menghambur kepelukan sang tuan rumah.

"Hujaaan!!! Kangen!" Ujarnya dengan suara manja



Bersambung

10 November 2022

Waduh siapa tuh?

HUJAN & KALILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang