5

2.2K 178 0
                                    

Di sinilah Wendy, duduk di samping tubuh lemah sang ibu yang masih dirawat di salah satu rumah sakit umum daerah Yogyakarta. Dipegang kulit tangan kanan Suwarni yang sudah keriput dengan penuh kasih sayang. Air matanya kembali menetes menyesali pertengkaran terakhirnya jikalau Suwarni harus terbujur tak berdaya seperti ini. Setelah mendapat kabar bahwa ibunya sakit akibat tekanan darah tinggi yang menyebabkan ada penyumbatan di otak sebelah kanan ditambah kadar gula darah yang tak mau kalah saing, Wendy langsung meminta ijin kepada manajer F&B untuk memberinya cuti tiga hari. 

Tak sempat berpamitan kepada Bimo maupun kru kitchen lain kecuali Ratih yang dia beri tanggung jawab mengawasi kinerja commis dan cook helper. Dia meminta Ratih merahasiakan kabar ini agar tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan lantas langsung pulang dengan pesawat terbang yang dipesan secara mendadak. Pikiran gadis itu berkecamuk mengingat tidak ada orang yang tahu kapan nyawa manusia akan dipanggil menghadap ke Sang Pencipta. Wendy tidak ingin menyesal di kemudian hari jika tiba-tiba kondisi Suwarni drop. Selama perjalanan saja, Wendy terus berdoa agar keadaan ibunya tetap baik-baik saja.

Darmaji muncul membawa kantong plastik berisi botol air mineral dan dua bungkus makanan yang dibelinya di kantin rumah sakit. Sejak semalam hingga matahari sudah berada di puncak ubun-ubun, belum ada sesuap nasi yang masuk ke dalam mulut anak pertamanya itu. Wendy menolak secara halus dengan alasan tidak bisa tenang sebelum kondisi Suwarni membaik. Tapi, Darmaji tetap memaksa karena jika dibiarkan seperti ini tentu Wendy akan ikutan sakit mengingat anak gadisnya juga memiliki gangguan asam lambung sejak sekolah. 

"Makan dulu, Wen," pinta Darmaji memberikan sebungkus nasi campur yang terkesan menuntut. "Ibumu sudah lebih baik, Wen, dia cuma baru bisa tidur setelah diberi obat sama dokter."

"Stroke loh, Pak," ucap Wendy dengan suara gemetaran. "Bapak tahu to kalau stroke itu bikin orang enggak bakal bisa beraktivitas  kayak dulu lagi?"

Lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata minus itu menghela napas panjang, meletakkan bungkusan nasi yang ditolak Wendy di atas nakas, lantas membelai rambut panjang sang anak sambil berkata, "Wes to, ibumu pasti sembuh. Bapak percaya, Nduk."

"Tapi, Pak--"

"Dokter bilang kalau strokenya masih bisa ditangani karena Bapak enggak telat bawa Ibumu ke rumah sakit, cuma emang perlu waktu biar cara kaki kirinya kuat buat jalan," sela Darmaji meyakinkan Wendy berdasarkan penjelasan dari dokter yang menangani istrinya. Meski tidak seratus persen akan seperti sedia kala setidaknya dia berharap Suwarni bisa jalan seperti dulu. Beruntung stroke yang menimpa tidak sampai membuat cara bicara sang istri menjadi pelo. 

"Ayo kita makan dulu, Wen, kalau kamu enggak makan, Bapak akan susah loh," pinta Darmaji. "Masa iya Bapak harus nyuapin kamu kayak anak TK," sindirnya.

Akhirnya Wendy mengangguk menerima ajakan Darmaji untuk mengisi perut. Sebenarnya, sudah sejak tadi pagi perutnya terasa begitu perih sampai asam lambung merambat melintasi kerongkongan hingga sensasi di mulut terasa asam bercampur pahit. Hanya saja tidak ada keinginan sama sekali bagi Wendy untuk makan sesuap nasi. Dia beranjak meninggalkan Suwarni tidur mengekori langkah Darmaji keluar ruang rawat inap menuju tempat yang cocok untuk makan bersama. 

Ponsel Wendy berdering, segera dia merogoh benda kotak itu dan tercengang kala mendapati nama kontak Bimo muncul. Wendy bertanya-tanya apakah Bimo mendengar kabar dari Raith kalau Suwarni sakit. Dia mencebik, mengutuk Ratih kalau bibirnya tak pandai menjaga rahasia. Dia menyuruh untuk menyembunyikan kenyataan ibunya sedang terbaring sakit agar tidak menimbulkan euforia terutama Bimo yang kadang mudah cemas. Hendak menolak panggilan, tapi Bimo terus-menerus memanggil nomor telepon Wendy. Hingga Darmaji menoleh lalu mengisyaratkan anaknya agar segera menjawab panggilan yang terdengar mendesak. 

Impossible Marriage (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang