Rasanya pagi ini tubuh Wendy serasa dipukuli orang sekampung. Selagi berjalan menuju dapur hotel, dia menguap lebar merasa jam tidurnya kurang. Betul kata Bimo kemarin, seharusnya mereka pulang lebih awal daripada harus hang out seharian penuh sekadar memenuhi hasrat untuk healing. Pagi ini mereka hampir terlambat akibat bangun kesiangan kalau bukan alarm milik Bimo yang terdengar seperti pemadam kebakaran membuyarkan bunga tidur gadis itu.
Sejujurnya, Wendy tak dapat tidur nyenyak setelah semalam dia mendapat kecupan di kening sewaktu duduk di bibir pantai Tanjung Benoa. Mungkin orang lain akan menganggap ciuman biasa itu sesuatu yang tidak berarti karena mereka suami-istri yang sedang manis-manisnya menjalani bahtera rumah tangga. Tapi, bagi Wendy, kecupan sore itu menimbulkan sesuatu yang lain di hati sampai-sampai debaran di dadanya enggan tuk berhenti. Meski bukan kali pertama, entah kenapa tatapan Bimo kemarin dan semua perlakuannya begitu beda.
Ah, jangan keburu baper, Wen!
Alam bawah sadar Wendy berusaha menyadarkan gadis itu bahwa hubungannya dengan Bimo hanyalah sebatas di atas kertas yang berarti tidak ada kata cinta di dalamnya. Wendy juga menguatkan diri sendiri kalau yang dilakukan Bimo semalam hanyalah ungkapan terima kasih sebagai teman bukan yang lain.
"Iya, masa gitu aja, aku langsung baper," gumamnya sambil mencuci tangan di wastafel sebelum memasuki area cold kitchen.
Begitu masuk ke dapur, Wendy melihat papan di mana banquet hari ini tak terlalu banyak. Dia sedikit bersyukur tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra seperti biasanya dan berharap tidak ada pesanan mendadak seperti sebelumnya. Kepalanya bisa pecah kalau ada pesanan mendadak tanpa persiapan.
"Mbak Wen!" sapa Astrid terlihat ceria.
"Ayang Wendy..." sahut lelaki bernama Ketut yang datang setelah cuti panjang. Dia adalah demi chef bagian bakery yang sudah hampir enam tahun bekerja di sini.
"Bli!" seru Wendy kegirangan. "Ya ampun apa kabar?"
"Baik. Gimana sama Bimo? Jos enggak?" goda Ketut membuat Astrid tersipu. "Akhirnya setelah sekian lama ada yang berhasil taklukin kamu."
"Lah dikira ular," ketus Wendy.
"Iya habisnya sih ... semua cowok kamu tolak, Wen. Eh, ternyata jodohnya temen sendiri," ledek Ketut menangkap sosok Bimo datang untuk mengecek alat-alat di hot kitchen. "Bim!"
Bimo menoleh dan hanya melambaikan tangan sebentar sebelum mengumpulkan anak-anak dapur untuk briefing. Tiga orang di cold kitchen mendatanginya disusul beberapa anak lain untuk mendengar arahan Bimo kalau hari ini mereka akan kedatangan eksekutif chef baru. Wendy tercengang kalau pihak hotel secepat ini memutuskan siapa yang jadi pemimpin dapur bahkan setelah Bimo berhasil mengembalikan mood. Lihat saja sekarang wajah suaminya yang datar seakan ada kata tak terima tersirat di sana. Tak lama Lucy datang bersama seorang lelaki berperawakan sedikit pendek dari tubuh tinggi Bimo dan berkepala agak botak.
"Kukira Mas Bimo yang bakal naik takhta," bisik Astrid. "Padahal dia lebih mumpuni kan?"
Wendy mengangguk tapi tak berani banyak komentar kalau posisi itu ternyata tak bisa diraih suaminya. Namun, dia dapat menilai kalau Bimo mulai menerima posisinya sebatas sous chef atau lebih sering dikenal sebagai wakil kepala dapur. Setidaknya, Bimo masih bisa berinteraksi dengan kru dapur juga bermain-main dengan alat masak daripada bergelut di balik meja kantor untuk menulis laporan maupun membuat ide resep.
"Baik, perkenalkan nama saya Teguh saya pindahan dari D'amore pusat di Yogyakarta," kata lelaki itu setelah diminta memperkenalkan diri oleh Lucy. "Saya harap dengan kedatangan saya di sini bisa ikut memajukan D'amore."
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Marriage (END)
Romansa(Marriage Life Series) Memilih menjadi single bahagia sepertinya menjadi sebuah aib bagi keluarga Wendy Aurelia. Di usia 31 tahun, Wendy dipaksa menikah demi membungkam cibiran keluarga besar sekaligus menuruti permintaan sang ibu. Sehingga dia meng...