Setelah menikah, Wendy langsung bertolak ke Bali dengan alasan honeymoon di Pulau Dewata lebih berkesan. Padahal sebenarnya tak ingin berlama-lama di Yogyakarta untuk bercengkerama dengan keluarga besar yang terlalu ikut campur urusan pribadi. Kemarin saja setelah acara, banyak di antara mereka memberikan wejangan masalah cara mendapatkan anak lelaki maupun perempuan tanpa sungkan kalau masih ada anak-anak di bawah umur yang mendengarkan percakapan dewasa. Lagi pula, hal pribadi seperti itu tak perlulah diajari lagi karena sejatinya manusia memiliki naluri tersendiri ketika menjalani hubungan seksual.
Wendy menepis kata terakhirnya. Tidak ada hubungan pasutri seperti yang tertulis dalam kontrak pun dia juga tidak mau menyerahkan keperawanannya kepada Bimo begitu saja. Dalam kamus kehidupan Wendy, bercinta itu lebih dari sekadar menyatunya dua tubuh manusia untuk mencapai surga dunia namun ada hati yang harus terlibat. Jika dia melakukannya dengan Bimo tanpa ada ikatan perasaan, maka itu bukan bercinta tapi sama-sama melampiaskan nafsu bak binatang. Wendy tidak mau seperti itu.
Sesampainya di Bali dan tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Wendy langsung memindahkan barang-barang yang sudah dikemas dalam kardus ke apartemen milik Bimo yang sudah ditinggali sejak pertama kali bekerja di hotel. Apartemen mewah sang sous chef berada dekat Tanjung Benoa yang tak jauh dari lokasi D'amore. Mungkin butuh waktu sekitar lima belas menit dengan motor atau mobil karena jalanannya tidak begitu ramai. Selain itu, huniannya memiliki nilai plus yakni berhadapan langsung dengan pantai cantik sehingga bisa melihat matahari terbenam. Sebelum mereka menikah, Wendy cukup sering datang kemari untuk melihat sunset terutama mencari ide untuk resep pastry ditemani secangkir teh hangat dan croissant buatan sendiri.
Begitu masuk, Wendy disuguhi jendela besar yang menampilkan panorama birunya laut yang tertutupi gorden putih tipis tanpa motif hingga berkas matahari tampak malu-malu masuk ke area ruang tamu. Gadis itu menaruh barang di atas sofa berbahan suede cokelat lantas membuka kain gorden dan membuka jendela untuk membiarkan udara masuk. Dari sini, dia bisa melihat para wisatawan yang tampak asyik bermain banana boat hingga parasut-parasut aneka warna yang beterbangan di atas langit bak burung camar mencari ikan. Walau sudah lama di Bali, belum pernah sekali pun Wendy merasakan wahana air yang perlu kocek agak banyak untuk sekali permainan. Dia berharap suatu saat nanti bisa menaiki parasailing untuk menikmati pesona Tanjung Benoa dari atas.
"Jadi pengen ke sana," gumam Wendy ketika Bimo berdiri di sampingnya. "Kalau uangku banyak, sudah dari dulu deh beli ini apartemen."
"Tapi, akhirnya kamu juga tinggal di sini kan? Uangnya bisa dibuat beli yang lain," kata Bimo. "Aku beli ini juga kebetulan dapet view bagus."
"Pasti mahal ya, berapa kamu beli ini, Mas Bim?" tanya Wendy.
Bimo mengangguk sambil terkekeh. "Ada deh, lagian juga masih nyicil." Lalu dia berjalan menuju kamar Wendy yang berada di sisi kiri dekat dengan dapur bergaya bar setelah mengangkat kardus berisi baju-baju milik sang istri.
"Masih lama cicilannya?" tanya Wendy mengekori Bimo seraya membawa kardus berukuran sedang berisi buku-buku dan menenteng tas di lengan kiri. Mata bulat itu makin melebar mendapati kamar bergaya cozy yang akan ditempati juga memiliki jendela besar dengan tirai putih yang melambai-lambai dibelai angin. Ada satu tempat tidur dengan seprai putih, satu meja yang bisa diisi beberapa buku, dan satu lemari pakaian berbahan kayu jati di sisi kanan. Di balik jendela itu, tersedia balkon yang memiliki satu kursi dan meja kecil yang bisa digunakan Wendy duduk selagi menikmati matahari terbenam.
"Tahun depan udah lunas kok," jawab Bimo. "Waktu itu dapet harga murah kalau sekarang sih udah sekitar satu milyar lebih, Wen. Karena aku hafal kamu suka senja jadi kamar kosong ini bisa kamu tempatin. Aku pakai kamar sebelah."
"Biar aku sendiri yang taruh pakaianku ke lemari, Mas Bim," ucap Wendy ketika Bimo hendak membuka lemari pakaian. "Makasih ya."
"Kamu enggak makan dulu?" tanya Bimo. "Mungkin aku bisa masakin sesuatu."
"Kita pesen online aja, aku yang traktir," ujar Wendy menaik-turunkan alis. "Sekali-kali koki harus istirahat masak."
###
Pendar senja menyapa Wendy berbarengan dengan angin laut yang menyapu pelan wajahnya. Rasa lelah setelah seharian menata kamar langsung lenyap saat bisa mengabadikan momen turunnya matahari berganti dengan munculnya sinar rembulan. Selepas membersihkan diri dan mengenakan kaus dan celana selutut, dia berdua dengan Bimo sembari menikmati sepiring ayam betutu yang dipesan melalui aplikasi online didampingi segelas teh hangat. Selagi mengunyah makanan khas Bali itu, Wendy mengangkat tangan kanannya menilik cincin di jari manis. Benda keemasan yang melingkari jari lentiknya berkilau diterpa temaram lampu balkon sedikit menyilaukan mata. Bimo yang melihat gelagat sang istri mengerutkan kening lantas bertanya,
"Kenapa dilihati terus?"
"Lucu aja," jawab Wendy. "Kayak ada yang aneh. Tahu sendiri kan seumur-umur kerja di hotel enggak pernah pakai aksesoris macam ini kecuali anting sama jam? Ah iya, gimana dengan si Risya?"
"Lost contact," jawab Bimo menatap lurus ke arah jejak matahari yang makin menggelap. Sekilas, matanya berkaca-kaca dengan senyum getir yang terpancar walau susah payah disembunyikan. Meskipun waktu sudah bergulir cepat, tapi Bimo merasa dunianya berhenti bergerak dan terpaku pada sosok Risya yang enggan pergi dari ingatan. Dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk tidak memikirkan atau menyebut nama gadis itu dalam hati. Sial, bayangan sang mantan tunangan justru datang tanpa permisi di tiap bunga tidur yang membuatnya terbangun di tengah malam. "Nomorku udah diblokir setelah ijab kabul kemarin," lanjutnya memandangi butiran nasi yang membisu.
"Cemburu dia," ujar Wendy menepuk bahu Bimo memberikan kekuatan. "Semangat move on, aku yakin ada cewek yang bakal tulus cinta sama kamu, Mas."
"Kamu sendiri?" kini pertanyaan itu terlontar begitu saja. "Sampai kapan kamu ngegantungin perasaan cowok yang pernah menaruh harapan sama kamu?"
"Aku?" tunjuk Wendy pada dirinya sendiri. "Belum terpikir sama sekali dan bukan salahku yang membuat mereka menaruh harapan. Mereka sendiri yang terlalu baper, Mas."
Bimo mengangguk-angguk tanpa menanggapi lebih lanjut ucapan Wendy. Dia juga tidak memedulikan keputusan Wendy yang masih hobi mematahkan perasaan deretan lelaki yang ingin tinggal lama di hatinya. Yang terpenting, Bimo bukanlah salah satu dari pria yang menaruh hati pada Wendy sekali pun kini mereka adalah pasang suami-istri. Kini, lelaki yang mengenakan kaus distro itu menyandarkan diri di kursi rotan setelah kenyang makan dan meminta ijin menyesap batang tembakau untuk menenangkan pikiran.
Sejak berpisah dengan Risya, baru pertama kali ini Bimo mengisap rokok sebagai pelarian. Seumur-umur, belum pernah sekali pun dia merokok seperti laki-laki pada umumnya akibat takut dengan efek jangka panjang yang ditimbulkan. Tapi, setelah mencicipi sebatang, nikotin dari batang tembakau itu mampu mengubah rasa gundah menjadi ketenangan tiada tara menyebabkan Bimo ketagihan. Pantas saja temannya rela tak makan seharian daripada tidak merokok walau satu batang jadi mungkin ini alasannya.
Asap putih membumbung tinggi kemudian lenyap tanpa jejak di udara meninggalkan aroma tembakau yang cukup menyengat hidung. Buru-buru Wendy menutup hidung lancipnya karena tak suka dengan aroma nikotin yang bisa membuat kepala pusing.
"Sejak kapan ngerokok?" tanya gadis itu terlihat kesal.
Bimo mengedikkan bahu sambil tertawa. "Maaf."
Wendy buru-buru pergi membiarkan Bimo duduk seorang diri di balkon utama menyaksikan sang dewi malam merangkak ke angkasa. Dia memilih mendaratkan pantat di sofa ruang tamu dengan layar televisi yang menampilkan acara Netflix. Gadis itu menoleh ke arah sosok Bimo dari belakang sambil membatin kalau perasaan manusia itu tidak selamanya bertahan, jikalau terlalu dalam maka sakitnya luar biasa dan butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkannya.
Diangkat tangan kanan dengan jemari lentik bercat kuku nude, Wendy memiringkan kepala seraya menyipitkan pandangan mengamati cincin kawinnya dan bergumam, "Jangan sampai aku jatuh cinta pada lelaki seperti Mas Bimo. Aku juga enggak mau patah hati kalau akhirnya kayak dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Marriage (END)
Romance(Marriage Life Series) Memilih menjadi single bahagia sepertinya menjadi sebuah aib bagi keluarga Wendy Aurelia. Di usia 31 tahun, Wendy dipaksa menikah demi membungkam cibiran keluarga besar sekaligus menuruti permintaan sang ibu. Sehingga dia meng...