"Halo, Chef!" sapa Wendy yang sedang membawa bak berisi baju kotor dan menangkap sosok Bimo keluar kamar sambil menguap lebar. "Bajumu aku cuciin enggak?"
"Hah!" Bimo menganga tak mengerti karena nyawanya masih belum lengkap dari alam bawah sadar.
"Celana dalam?" Wendy mengulurkan tangan mengisyaratkan agar lelaki itu menyerahkan baju kotor untuk dicuci.
"Hah?"
"Ha he ha he aja nih! Aku mau nyuci baju mumpung libur, Mas!" gerutu Wendy gemas. "Biar bajumu kucuci sekalian."
"Kayaknya kalau celana dalam jangan deh, aku malu," cicit Bimo menggaruk rambutnya. "Lagian aku juga libur, Wen."
"Ya udah bagi tugas aja. Mas Bimo bersih-bersih, aku yang cuci dan setrika," usul Wendy. "Nanti kita masak bareng."
Bimo mengangguk setuju lantas masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian kotor yang ada dalam keranjang baju. Sementara Wendy bergegas ke kamar mandi berukuran cukup luas sampai mampu menampung mesin cuci. Bimo menyusul dan membantu gadis itu mengambil bak besar untuk diisi air bersih. Benar-benar seperti kehidupan pasutri, pikir lelaki itu.
"Beneran nih enggak apa-apa?" Bimo meragu karena baru pertama kali bajunya dicuci perempuan yang kini menjadi istrinya.
"Iya enggak apa-apa, emang kenapa?" Wendy menaikkan alis. "Udah sana bersih-bersih biar samaan nanti selesainya."
Mau tak mau Bimo meninggalkan Wendy untuk membersihkan apartemen mereka. Mulai dari menyedot debu, mengelap kaca jendela, menjemur bantal di balkon mumpung di luar sedang terik, sampai mengepel lantai. Ketika Bimo masuk ke dalam kamar Wendy, semerbak aroma bunga langsung menyergap hidung lancipnya. Dia terpana melihat begitu rapi dan wangi kamar sang istri. Pintu kaca yang berbatasan langsung dengan balkon terbuka lebar menyisakan gorden yang melambai-lambai mengikuti arah angin. Ditambah jejak cahaya mentari menerobos membuat kamar ini seolah disorot oleh semesta langsung.
Bibir merah delima Bimo mengulum senyum melihat ada tiga bingkai foto terpajang di atas nakas. Diraih salah satu foto itu di mana dia dan Wendy mengenakan baju akad nikah sambil tersenyum bahagia menunjukkan jari manis yang sudah disematkan cincin kawin. Orang lain akan melihat bahwa dua sejoli itu saling mencintai sampai rasa suka cita terpancar dari binar mata dan tawa. Padahal di belakang mereka, Bimo dan Wendy tidak pernah terikat rasa melebihi ikatan pertemanan.
Dia memiringkan kepala mengamati garis wajah ayu Wendy dengan riasan wajah yang natural. Pertanyaan langsung bermunculan di kepala Bimo kenapa perempuan secantik dia malah lebih suka terjebak dalam hubungan friendzone? Dia yakin jika Wendy mau serius dengan satu dari segudang koleksi teman pria, pasti ada yang mau meminang.
Siapa sih yang tak suka dengan wajah cantik dan rajin seperti istrinya? Bahkan Risya pun masih kalah jauh. Mantan tunangannya itu tak bisa memasak sama sekali karena pernah terkena cipratan minyak goreng atau tangan panas usai memotong cabai. Risya lebih suka memesan melalui aplikasi online yang dirasa lebih praktis.
Bimo terkikik sendiri, cinta membuatnya buta dan baru ini dia sadar kalau Risya tidak sebaik apa yang dibayangkan. Meski di jaman sekarang perempuan tak wajib bisa memasak akibat makin banyaknya kesetaraan gender, tapi di dalam hati Bimo lebih suka perempuan yang pandai mengolah makanan daripada sekadar membuang uang.
"Tapi, di lain sisi ... aku enggak bisa menebak isi hati Wendy," gumam Bimo.
###
Liburan kerja walau sehari menjadi surga untuk Wendy setelah beberapa hari kakinya harus berdiri berjam-jam membantu kru dapur mengolah kue. Duduk berdua di balkon sebagai tempat favorit selama tinggal di sini seraya menikmati sepiring kecil puding tiramisu buatan sendiri. Iris mata cokelat itu memandang lurus ke arah pantai Tanjung Benoa yang melambai-lambai tak sabar untuk didatangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Marriage (END)
Romance(Marriage Life Series) Memilih menjadi single bahagia sepertinya menjadi sebuah aib bagi keluarga Wendy Aurelia. Di usia 31 tahun, Wendy dipaksa menikah demi membungkam cibiran keluarga besar sekaligus menuruti permintaan sang ibu. Sehingga dia meng...