"Ni-nikah?" ulang Bimo masih tak percaya dengan apa yang didengar. Dia mengorek telinga kiri takut indra pendengarannya menurun drastis usai menangkap kalimat yang tak masuk akal itu.
Wendy mengangguk cepat. "Iya, kita nikah aja, Mas," ajaknya tanpa basa-basi langsung menusuk Bimo dari segala penjuru berharap lelaki itu segera memberi keputusan.
Jantungnya nyaris tak berdetak begitu juga tungkai yang terbalut sandal sudah tak bertulang lagi setelah memberanikan diri mengajukan permintaan paling gila kepada Bimo. Dia yakin setelah ini pria di depannya akan mengejeknya gila atau sudah keracunan sabun sampai berani mengatakan hal itu.
"Tunggu sebentar, Wen," potong Bimo mencerna sekali lagi ajakan Wendy. "Kamu enggak lagi halusinasi kan?"
"Enggak, aku serius, Mas Bim," kata Wendy meyakinkan. "Kita nikah, kamu bisa tunjukin ke Risya kalau ada orang yang mau diajak komitmen sementara aku bisa tunjukin ke ibu dan bapak kalau--"
"Maksudmu kita menikah cuma buat mainan?" sela Bimo kesal. "Cuma bikin mereka lega atas pencapaian kita, begitu? Gila ya kamu! Sinting!"
"Aku enggak gila, aku cuma mau menyelamatkan harga dirimu, Mas Bim," ketus Wendy melempar kesalahan kepada lelaki di depannya. "Dan ini jalan keluarnya."
"Harga diri aku? Aku enggak butuh bantuanmu, Wendy. Aku masih bisa kok menyelamatkan harga diriku tanpa harus menerima ajakanmu. Kamu ini kenapa sih?" ketus Bimo kesal.
Wendy sudah kehilangan kesabaran lantas beranjak dan berkata, "Aku cuma ingin kita sama-sama bisa untung dengan cara itu, Mas Bim. Aku bilang gini juga terpaksa buat nuruti kemauan ibuku. Lagi pula, setelah menikah kita bisa kembali hidup sesuai tujuan masing-masing. Toh, aku juga enggak minta hati kamu."
Gadis itu bergegas meninggalkan Bimo yang kini digelayuti banyak pertanyaan. Sungguh dia tak paham dengan isi kepala Wendy yang tiba-tiba mengajaknya menikah seperti mengajak bermain rumah-rumahan. Mau tak mau, Bimo mengejar Wendy memanggil namanya walau diabaikan. Langkah jenjang Wendy terlalu cepat seolah tak ingin berlama-lama di tempat ini ditambah ucapan Bimo yang menyakitkan hati.
"Wen!" panggil Bimo berhasil menahan lengan kiri Wendy.
Wendy menepis genggaman tangan Bimo di lengannya sambil menangis putus asa. Bibirnya bergetar tak menemukan jalan keluar atas masalah yang dipendam sendiri. Melihat wajah menyedihkan seperti itu, hati kecil Bimo ingin merengkuh temannya dalam dekapan dan meminta apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai Wendy si gadis independent mau begitu saja mengajaknya menikah. Bimo hafal betul karakter teman berkepala batunya ini, tidak mungkin Wendy mengatakan ingin menyelamatkan harga diri Bimo kalau bukan ada alasan lain yang disembunyikan.
"Iya siapa yang enggak kaget kalau tiba-tiba ada cewek bilang gitu, Wen," jujur Bimo. "Tenang dulu ... kita duduk lagi aja deh, Wen. Terus ceritain kenapa kamu sampai ngajak aku untuk menikahmu. Tahu kan menikah itu bukan buat mainan, Wen, apalagi aku--"
"Kamu pikir aku bodoh?" potong Wendy emosi. "Bapak sendiri yang langsung nyuruh aku buat milih kamu."
"Tenang dulu, tenang, Wen. Kita bicarakan ini baik-baik oke, ini keputusan yang harus dipertimbangkan secara baik-baik," tukas Bimo. "Kamu bisa kan cerita dari awal?"
Ada jeda panjang di antara dua manusia itu sebelum pada akhirnya Wendy melenggut dan kembali mendudukkan diri di sofa lobi hotel untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Seraya sesenggukan, gadis itu mengatakan kepada Bimo bahwa hanya ini cara yang bisa dia lakukan untuk menuruti permintaan Suwarni sekaligus membungkam ejekan keluarga besar yang melihatnya sebagai manusia tak laku yang dibutakan oleh karier.
Pada akhirnya, Wendy mengajukan sebuah pernikahan kontrak yang memiliki keuntungan di antara kedua belah pihak. Awalnya Bimo tertegun cukup lama dengan ide gila bahwa pernikahan ini hanya sementara dan bisa berakhir kalau salah satu dari mereka menemukan perempuan atau laki-laki yang dicintai. Wendy berpendapat kalau melalui hubungan pura-pura ini semua orang akan puas termasuk bisa membantu Bimo membalaskan dendam terhadap mantan tunangannya. Selama ini dia tahu Risya selalu cemburu dengan kedekatannya dengan Bimo padahal tidak ada hati yang terlibat di dalamnya kecuali perasaan sebagai saudara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Marriage (END)
Romance(Marriage Life Series) Memilih menjadi single bahagia sepertinya menjadi sebuah aib bagi keluarga Wendy Aurelia. Di usia 31 tahun, Wendy dipaksa menikah demi membungkam cibiran keluarga besar sekaligus menuruti permintaan sang ibu. Sehingga dia meng...