20🔞

5.4K 180 11
                                    

Bimo baru pulang ke apartemen sekitar pukul delapan malam ketika Wendy sedang menonton film Purple Heart di siaran Netflix sambil memangku semangkuk popcorn pedas. Dia melirik sinis ke arah lelaki yang menghampirinya malah melempar ulasan senyum tanpa dosa. Wendy langsung berdiri dan mematikan film yang menampilkan adegan mengharukan ketika Luke dipecat akibat memalsukan pernikahannya dengan Cassie demi mendapatkan tunjangan. Tadi gadis itu hampir terhanyut dalam romansa lelaki yang dianggap sebagai pria green flag dan sempat ramai diperbincangkan di Tik Tok karena selain tampan juga mau memperjuangkan Cassie. Bergegas ke kamar dan membanting pintu ketika Bimo meneriaki nama Wendy tanpa dihiraukan.

Wendy sudah berusaha menutup mata dan telinga ketika mengetahui Risya kembali untuk mengambil cinta yang sempat dititipkan kepadanya. Di sisi lain, ada rasa benci yang menggerogoti hati Wendy dan makin lama rasa itu melubangi hati sampai sebesar bola pingpong yang bisa menjadi racun mematikan. Kenapa harus sekarang gadis tak tahu diri itu datang dengan drama yang seharusnya tak perlu diceritakan kepada Bimo kala sang mantan nyaris move on. Wendy tak peduli orang akan mengatainya penjilat karena berat melepaskan Bimo. Itu sudah hak Wendy secara sah meski pernikahannya hanyalah kontrak semata.

"Wen," panggil Bimo mengetuk pintu kamar Wendy. "Kamu kenapa sih?"

Yang dipanggil memasang earphone untuk menulikan pendengaran dengan musik kencang daripada harus mendengar suara Bimo. Dadanya bergemuruh seperti ombak besar yang mencoba menghancurkan karang sekeras mungkin. Walau memejamkan mata untuk meredam emosi, nyatanya hati Wendy terlalu rapuh sampai bulir kristal bening sukses meluncur dari pelupuk mata. Sial, rutuk Wendy dalam hati. Seharusnya dia tidak perlu menangisi lelaki labil seperti Bimo kan?

"Enggak ada yang bisa menggantikan kamu, Ris, bahkan Wendy sekali pun."

Ucapan Bimo terngiang-ngiang di telinga Wendy dan makin lama makin keras seakan hendak memecah gendang telinga. Dia menarik paksa earphone itu lantas beranjak ke luar menuju balkon kamarnya sambil sesenggukan. Mungkin melihat laut yang diterangi rembulan juga taburan bintang di langit bisa menjadi penghibur lara. Dia berdiri sebentar di pagar pembatas, merasakan embusan angin yang menusuk tulang lantas mendudukkan diri di atas kursi rotan. Mendekap kedua lutut sembari menyembunyikan wajah dari dunia kalau saat ini perasaan Wendy benar-benar gelisah. Suara Bimo sudah tak terdengar lagi berganti nyanyian hewan malam dan gesekan dedaunan yang bergoyang ditiup angin. Berulang kali gadis itu memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan berharap batu yang mengimpit hatinya bisa keluar.

Sungguh Wendy tak tahu apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Apakah Tuhan sedang memberi pelajaran atas sikap selalu menggantungkan perasaan lelaki yang sudah menaruh harapan padanya? Ataukah memang perasaan manusia itu mudah dibolak-balik dalam sekejap dan bisa terperosok sampai menyakitkan seperti ini? Menyesakkan sekaligus menyakitkan.

"Wen." Suara Bimo terdengar di sisi balkon ruang utama yang hanya dibatasi tembok. Dia kebingungan mendapati Wendy tiba-tiba mendiaminya kemudian menangis diam-diam. "Kenapa sih? Ada masalah?"

Wendy menatap sinis ke arah tembok bercat putih itu berharap bisa menghancurkannya dalam sekali pukul untuk menimbun keegoisan Bimo. Dia mengusap jejak basah air matanya yang masih mengalir di pipi dengan tangan dan mengusap ingus dengan ujung kaus. Wendy menarik napas sebanyak mungkin tuk melonggarkan relung dadanya yang menyempit.

"Bukannya kamu tahu kenapa aku kayak gini?" balas Wendy terbata-bata. "Kok pura-pura bego?"

Bimo mengernyitkan alis. "Kamu kok ngomongnya kasar sih!"

"Udahlah, capek ngomong sama orang yang enggak bisa dipegang omongannya," sindir gadis itu lalu kembali ke kamar mengabaikan panggilan Bimo lagi.

###

Impossible Marriage (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang