KINI, DIA PUN MENGHILANG | 5.0
"Kamu lebih memilih pergi di saat aku sudah kembali percaya padamu."
--
*Flashback On*
Author POV
Hari Sabtu, hari itu awan mendung menyelimuti langit yang seharusnya menampakkan warna birunya. Langit yang seolah mengerti ada hati yang tengah patah, ada tangis yang sedang dipendam, dan kedukaan yang begitu kentara. Semua mampu menyaksikannya, walau tidak ada tangis yang terisak namun sorot mata itu mampu menjelaskannya. Sorot mata yang kosong dengan warna kemerahan, tidak lupa lipatan mata yang sembab.
Semalam, tepat pukul 10.00, Amanda dibawa ke rumah duka. Rumah yang menjadi saksi Amanda tumbuh dan berkembang, dirawat dan bermain di sana. Setibanya di rumah duka, keluarga besar menerima dengan tangis yang pecah begitu mobil ambulans terparkir di rumah tersebut. Terlebih melihat Tisha yang dirangkul oleh Andra serta Arman yang berdiri di belakang kedua anaknya. Kali ini tidak ada lagi senyum Amanda yang selalu ia berikan saat datang ke rumah tersebut, kini hanya ada Amanda yang tengah berbaring tertutup kain bersih dan dibawa oleh pihak keluarga untuk dibaringkan di ruang keluarga.
Kerabat, tetangga, serta saudara jauh datang untuk berbela sungkawa, tak luput juga teman-teman Tisha dan juga Kala.
"Sabar ya sayang," ucap seorang wanita yang memakai jilbab besar kini tengah memeluk Tisha. Menepuk pundak gadis itu dan memberi kekuatan. Sedangkan Tisha yang tengah dipeluk berusaha kuat untuk menahan suara tangisnya. Setelah itu Tisha jalan masuk kembali ke dalam rumah. Duduk di samping Amanda yang wajahnya sudah ditutupi kain putih.
Iringan doa dan surah yassin tidak henti-hentinya dibacakan. Terlebih setiap penutup wajah Amanda dibuka, terdapat senyum tipis yang menghiasi wajah bersih itu seolah mengabari kalau kini Amanda sudah tenang. "Ibu senyum, Sha. Ibu sudah tenang," ucap salah satu kerabat saat menangis melihat senyum Amanda.
Tisha tidak merespon selain tatapannya masih tertuju pada wajah Amanda. Dengan pakaian yang masih dikenakannya sedari pagi, Tisha mengenakan jilbab instan berwarna hitam milik bibinya yang ia pinjam setibanya di sana.
Seseorang menepuk pundak Tisha dan duduk di samping gadis itu, "Sha, teman-temannya ada yang datang. Mereka di depan belum masuk, ajakin masuk dulu gih," Tisha yang mendengar kemudian mengangguk. Keluar dari ruang keluarga menghampiri 4 laki-laki yang tengah berdiri di depan. Tisha berdiri di depan laki-laki itu, dua orang yang merupakan teman kelasnya. Tisha menyapa, dan satu lagi adalah orang yang tidak diduga oleh Tisha. Dia adalah; Kalandra. Lelaki yang memakai baju koko tak lupa dengan peci tengah berdiri di hadapan Tisha.
Tisha yang melihat Kala berdiri di depannya kini membuat Tisha tak kuasa menahan tangisnya. Wanita itu duduk jongkok di hadapan Kala. Menundukkan wajahnya dalam lipatan tangan. "Sha," panggil Kala menyentuh pundak Tisha. Tisha mendongak melihat Kala yang tengah menatapnya dengan menunduk. "Ibu, Lan. Ibu pergi," lirih Tisha pelan namun masih mampu di dengar, air mata sudah membasahi wajah wanita itu. Setelah mencoba menahan desakan tangis sedari tadi akhirnya tangis itu kembali pecah, di hadapan laki-laki yang mengerti apa yang dirasakan Tisha.
"Ya, aku tahu. Ibu udah tenang, Sha. Gapapa, kamu jangan nangis lagi," Kala mencoba menarik Tisha untuk kembali berdiri, mengelus lengan wanita itu. Tisha mengangguk mencoba menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya sendiri. Kemudian Tisha mengajak keempat laki-laki itu untuk masuk ke dalam rumah. Ah, ya. Laki-laki satunya lagi adalah sepupu Kala yang menemaninya untuk datang ke rumah Tisha.
Tisha hanya menunduk, duduk kembali di samping Amanda saat Kala juga kerabat yang lain tengah membacakan surah yassin. Kala memerhatikan raut wajah pucat dari Tisha, melihat kerapuhan wanita itu membuat Kala ikut merasakannya. Kala menemani Tisha hingga pukul 12.30 malam, karena dirasa sudah lewat tengah malam, akhirnya Kala pamit undur diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF IT'S NOT YOU
Ficción GeneralDia baik, hingga aku tidak memiliki alasan untuk membencinya. Sekalipun alasanku terluka adalah; dia. Banyak kenangan manis yang terjadi, sekalipun yang pahit justru saat ini masih menghancurkanku. Namun, tetap saja aku tidak bisa membencinya. Dia...