Prolog | 0.0
Ternyata pertemuan itu adalah pertemuan kami yang terakhir, tidak ku sangka hal yang enggan ku anggap serius akan berakhir seperti ini. Laki-laki yang awalnya tidak ku percayai dahulu lalu dia mampu membuatku begitu percaya, menjadi alasan aku patah hingga kini.
"Kenapa?" itulah yang pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada laki-laki yang ada di hadapanku saat ini. Laki-laki dengan sweater hitam memandang lurus padaku. Lidahnya terasa kelu—mungkin untuk menjawab pertanyaanku yang bagiku sendiri sangat menyesakkan.
"Lan, aku mau ketemu kamu untuk nanya alasannya. Bukan ngeliat kamu diam kayak gini," desakku. Tak lama kemudian mataku berkaca-kaca. Masih tidak menyangka hari ini datang, hari yang tidak pernah ku sangka.
"Tidak ada alasan yang pasti," ujarnya, suaranya bahkan tidak sehangat dulu. Secepat itukah semuanya memudar? Rasa yang selama ini mereka pupuk, justru diputuskan secara sepihak.
"Kamu anggap aku apa? Kamu sendiri yang memintaku untuk menunggu. Kamu sendiri yang memintaku untuk menemanimu, tapi kenapa, Lan? Kenapa kamu setega ini?" Bahkan suasana ramai cafe itu terasa sunyi dan hanya berisikan suaraku dan dia. "Andai kamu tidak menahanku dulu, rasanya tidak akan sesakit ini. Dan kamu tahu? Hal yang paling menyakitkan adalah aku kecewa dengan orang yang sangat aku percaya." Aku menghapus air mata yang jatuh membasahi pipiku. Alan nampak menunduk, mungkin menyesali apa yang sudah ia perbuat, ahh—mungkin saja. Aku tidak perlu berkhayal bahwa ia akan menyesal.
"Salahku apa, Lan? Kemarin kita masih baik-baik saja. Bahkan kamu baru masuk kuliah, tapi secepat itu? Kalian dekatnya kapan? Apa selama ini—" ucapanku terputus ketika melihat Alan yang mendongak.
"Kamu gak salah, Sha. Sama sekali, enggak. Ini salahku," aku tersenyum miris. "Kamu memang salah, karena apa yang kamu lakuin itu memang salah." Tangisku sudah berhenti.
"Terimakasih atas semua rasa kecewa yang kamu selipkan, untuk saat ini maaf aku belum bisa menerima ini semua. Akal sehatku masih menentang apa yang terjadi. Kamu tokoh utama yang hebat, Lan. Sakit banget rasanya, huh!" aku menghembuskan napasku lelah. "Kamu baik-baik ya, aku pulang dulu," aku mengambil tas yang ada di sampingku, bahkan minuman yang ku beli tidak ku sentuh sama sekali. Aku melangkah berat, tidak menoleh ke belakang. Meninggalkan laki-laki yang menjadi tempatku bersandar dulu, teman untuk ku menceritakan rangkaian masa depanku dan merangkai bersama masa depan kami. Hanya rangkaian saat itu.
--
To be continue...
Regards,
dyarissFollow :
Ig : dyarisstory
Tiktok : dyarisstory
KAMU SEDANG MEMBACA
IF IT'S NOT YOU
Fiksi UmumDia baik, hingga aku tidak memiliki alasan untuk membencinya. Sekalipun alasanku terluka adalah; dia. Banyak kenangan manis yang terjadi, sekalipun yang pahit justru saat ini masih menghancurkanku. Namun, tetap saja aku tidak bisa membencinya. Dia...