| e p i l o g |

208 26 10
                                    

Semuanya masih terasa tidak nyata bagi Melisa. Hidupnya belakangan ini terasa seperti drama yang tidak menyenangkan. Bagaimana bisa jika ternyata Median adalah orang yang membuatnya merasa tidak aman dan menjebaknya selama ini? Padahal Median merupakan orang yang sangat ia percaya.

Seluruh tubuhnya terasa lemas dan kepalanya seperti berputar. Memaksakan diri, gadis dengan rambut panjang dan mata bulat itu mencoba bangun. Tangan kirinya tersambung dengan selang infus, terasa mengganjal. Mata indahnya mengerjap beberapa kali, kemudian mencoba menerka di mana ia saat ini. Rumah sakit, tentu saja. Tenggorokan yang terasa kering membuat Melisa menengok ke arah nakas, mencari air.

"Mel, lo udah bangun?"

Suara yang dikenalnya sebagai Martin terdengar begitu dekat dengannya, membuat gadis itu menengadahkan kepala dan pandangannya bertabrakan dengan Martin. Air muka laki-laki di hadapannya sangat ... sulit digambarkan. Ia tampak lelah, tapi juga lega. Khawatir, sekaligus ada raut tidak terbaca di sana. Melisa mengangguk, pelan.

"Gue mau minum deh, Tin," katanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Tangan Melisa bergerak menuju nakas. Pandangan Martin yang mengikuti gerakan tangan itu segera paham. Dengan cekatan, ia mengambilkan segelas air di nakas dan memberikannya pada Melisa. "Thank you, Tin," ucap Melisa sambil meneguk minumannya.

Martin memerhatikan Melisa, menunggu dengan sabar sampai  keadaan Melisa lebih baik. Ia menerima gelas yang sudah kosong dari tangan Melisa, kemudian membantu gadis itu untuk kembali berbaring.

"Gue kenapa ada di sini?" tanya Melisa membuka percakapan.

"Lo pingsan, jadi sekalian dibawa ke sini untuk dicek secara keseluruhan," jawab Martin yang kini duduk di sebelah ranjang Melisa. "Gue gak kenapa-kenapa, kan? Berarti udah boleh pulang?"

Martin mengangguk. "Tunggu lo beneran ngerasa udah bisa jalan dengan baik, gue antar pulang nanti."

Tidak ada jawaban dari Melisa, ia hanya menghela napasnya pelan. Tangan Martin bergerak ragu, kemudian menyentuh tangan Melisa, menggenggamnya dengan lembut. Terasa getaran pelan di tangan Melisa, mungkin terkejut, hanya sekian detik dan kembali tenang setelahnya.

"Median di mana?" tanya Melisa lagi, suaranya tampak ragu  dan bergetar.

"Dia pergi dan menghilang, Mel, tapi lo gak perlu khawatir lagi soal Median. Gue bisa pastikan kalau dia gak akan bisa ganggu dan bahkan dekat-dekat sama lo lagi," jawab Martin menahan nada suaranya supaya tidak terdengar marah.

"Bukan sepenuhnya salah dia, Tin. Gue juga salah, bokap gue juga. Dia ... kesepian, dan rasanya kesepian itu gak enak," kata Melisa setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Kalau dia cerita semuanya dari awal ke gue, semuanya gak akan kayak gini."

Percakapan mereka terhenti setelah seorang dokter jaga dan perawat muncul lalu memeriksa keadaan Melisa. Gadis itu memastikan bahwa dia sudah baik-baik saja dan siap untuk pulang. Setelahnya, selang infus di tangan Melisa pun dilepas sementara Martin mengurus kepulangannya.

☆ ☆ ☆

Kring!

Suara ponsel milik gadis berpipi  tembam itu berbunyi. Davia yang sedang melakukan olahraga ringan di kamarnya segera menghentikan kegiatan itu dan mengambil ponsel untuk menjawab panggilannya.

"Dendam lo udah gue balas, Davia," ucap suara dingin di ujung sambungan.

Davia mengerucutkan kening, dendam apa yang dimaksud? Ia tidak ingat jika ia memiliki dendam dengan orang lain. Baginya, semua kesalahan atau apa pun hal tidak mengenakkan yang terjadi sudah ia maafkan dan lupakan. Jadi, dendam apa?

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang