| k e p i n g d e l a p a n |

1.4K 236 31
                                    

"Lo harus jawab," kata Melisa, ia memperhatikan wajah Avicenna yang memucat. Melisa tidak peduli, ia harus mendapatkan berita soal Avicenna yang sesuai dengan fakta. Lagipula, ia harus menyampaikan opininya, apakah cowok di hadapannya ini cukup pantas menjadi ketua OSIS nantinya?

"Kalo gue nggak mau jawab?" tantang cowok itu.

Belum sempat Melisa menjawab, suara seorang cowok terdengar menanggapi pertanyaan Avicenna.

"Urusan lo sama gue, bukan cuma Melisa."

Melisa menengok ke sumber suara dan tersenyum kecil begitu melihat siapa pemilik suara itu. Avicenna menengok dan membuang wajahnya ke samping.

"Kenapa lo bisa ada di sini, Martin?" tanyanya kesal. "Kenapa lo ada di mana-mana?"

Martin tertawa. "Lo belum tau, ya, kalo gue wakil ketua tim jurnalistik sekarang? Dan wawancara ini juga seharusnya sama gue."

"Sejak kapan?" tanya cowok bertubuh atletis itu dengan tidak suka. Pandangannya beralih pada Melisa. "Emang iya, Mel?"

Melisa mengangguk. "Jadi, apa jawaban lo?"

"Endro nolak buat ngedukung gue di pencalonan OSIS ini. Dia bilang dia khawatir prioritas gue bakal berubah kalo gue nantinya kepilih jadi ketua OSIS. Dan karena kesepakatan bersama, kita mutusin buat ngeluarin dia dari tim futsal," jawab Avicenna cepat, ia melihat ke arah Martin dengan tidak suka. Terlihat jelas kalau cowok itu tidak ingin terlibat lebih jauh dengan Martin.

Melisa menyelesaikan catatannya, lalu berdiri dan membungkuk ke arah Avicenna. "Makasih buat waktu lo hari ini. Selamat melanjutkan aktifitas dan semoga hari lo menyenangkan."

Setelah mengatakan itu Melisa berjalan keluar kelas diikuti oleh Martin. Mereka berdua berjalan beriringan tanpa mengucapkan apa-apa. Sebenarnya, Melisa ingin mengatakan terima kasih pada Martin karena cowok itu telah menolongnya, tapi rasa kesal membuat cewek itu membatalkan rencananya.

"Mel," panggil Martin pelan.

Melisa menengok. "Ya?"

"Gue perlu minta maaf," katanya lagi, sekarang sedikit menunduk. "Gue ngerasa nggak enak karena udah ngomong seenaknya sama lo."

Melisa menghela napasnya. "Ngomong apa?"

"Soal majalah sekolah yang sebenarnya nggak banyak dibaca orang, soal gue bilang majalah ini hal yang sepele sebenarnya," kata cowok itu cepat. "Gue tau gue salah, dan gue minta maaf."

Cewek berponi yang sejak tadi hanya diam itu memandang Martin dalam. "Lo tau nggak kenapa gue nggak terima lo bilang 'cuma' untuk majalah ini?"

Martin menggeleng.

"Hal yang sepele buat lo, bisa jadi begitu berarti buat orang lain. Termasuk majalah ini. Ini semua passion gue, dan gue terbiasa ngerjain apa pun pake hati. Itu alasannya gue seniat ini sama majalah sekolah," kata Melisa menjelaskan.

"Lagipula, lo tau nggak, apa yang kita tulis itu bakal kita pertanggungjawabkan nantinya? Kalo lo nulis hal nggak baik atau nggak bener di sini, dan orang yang baca jadi bego atau salah jalan, lo sanggup tanggung jawab?"

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang