Median mengangguk paham. Suara langkah kaki terdengar menaiki anak tangga dan menuju kamar Melisa. Cewek yang masih mengenakan piyama itu melongok ke luar pintu sambil mengikat rambutnya jadi satu.
"Ngapain lo di sini? Mau apa?" tanya Melisa dengan nada tinggi. "Keluar ih!"
Mendengar suara teriakan Melisa, Median pun memutuskan berjalan ke arah pintu dan tanpa sengaja berpapasan mata dengan cowok yang menjadi alasan teriakan Melisa. Mata cowok itu menyipit saat melihat Median, sementara Median hanya tersenyum sinis.
"Lo ngapain di sini?" tanya Martin langsung.
Melisa menengok ke arah Median, lalu kembali menatap Martin tajam. "Harusnya gue yang nanya sama lo, Martin, ngapain lo ada di sini? Mau ngapain ke rumah gue lagi?"
"Gue harus ngejelasin semua ini sama lo, Mel," kata Martin dengan nada yang sedikit lebih lembut. "Bukan gue yang nyebarin video itu."
"Kalo bukan lo siapa lagi?" sentak Melisa. "Siapa yang bisa dapet keuntungan kalo gue ketauan ngelakuin hal konyol kayak gitu? Cuma lo kan? Seneng kan sekarang lo ngegantiin posisi gue?"
Martin berdecak. "Lo pikir gue bisa bahagia sama posisi ini sementara gue tau kalo lo lebih pantes ada di posisi ini?"
"Talk to my hand," kata Melisa, ia mengangkat telapak tangannya dan mengarahkan itu ke pada Martin. "Udahlah, Martin. Lo udah dapet semua yang lo mau, kan? Udah selesai. Gue nggak bakal ganggu lo lagi, gue juga udah nggak bisa balik ke tim jurnalistik, lo bebas ngelakuin apa pun."
"Nggak gitu, Mel," Martin maju hendak menghampiri Melisa lebih dekat, tapi Median buru-buru menghentikan langkahnya dan menutupi tubuh Melisa dengan tubuhnya yang tinggi. "Minggir," desis Martin.
Median menggeleng. "Bukannya lo udah denger perkataan Melisa tadi? Dia mau lo pergi dari sini."
"Gue punya urusannya sama Melisa, bukan sama lo," ucap Martin lagi dengan nada sarkas yang kental. "Jadi mendingan sekarang lo minggir dari depan gue."
"Gue cuma bakal minggir kalo Melisa yang nyuruh gue minggir," kata Median cepat. "Mel, lo mau gue minggir?"
Melisa menggeleng cepat. "Gue mau Martin pergi dari sini. For God's Sake, gue nggak mau ngeliat Martin. Nggak sekarang, nggak besok, nggak dalam waktu yang bisa gue tentuin sekarang."
Perkataan Melisa membuat Martin tidak lagi memiliki kuasa. Ia pun mundur, mungkin sudah seharusnya ia pergi. "Oke, Mel. Lo mau gue pergi kan? Lo nggak mau ketemu gue lagi? Gue bakal pergi, tapi satu hal yang harus lo inget Mel, bukan gue yang nyebarin rekaman video itu, dan gue bakal buktiin."
"Just prove it," bisik Melisa, suaranya bergetar. "But I don't even care anymore."
Martin pun memutar tubuhnya dan meninggalkan Melisa. Demi apa pun Martin bersumpah akan menunjukkan kebenarannya pada Melisa. Meskipun cewek itu menolaknya terus menerus. Dan satu hal lain yang Martin terus percayai: Median adalah pelakunya.
✩ ✩ ✩
Martin menghentikan motornya di depan sebuah pagar rumah tinggi yang ia datangi beberapa waktu lalu. Kali ini ia sudah sangat yakin dan tidak ingin menunda lagi. Perlahan, ia berjalan ke arah pagar kayu di hadapannya itu dan membunyikan belnya.
Tepat pada bunyi bel kedua, ia mendengar suara pintu dibuka. Martin pun mundur.
"Siapa?" tanya orang yang membukakan pintu sambil mengintip dari celah-celah pagar. "Oh elo."
Martin sedikit menghela napas lega saat mengetahui bahwa Metha masih mengingatnya. Begitu pagar terbuka, Martin tersenyum kikuk dan menghampiri Metha untuk menyalaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Teen FictionMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...