Ponsel Melisa berbunyi. Ia mengangkat telepon dengan cepat. Keningnya berkerut tiba-tiba. "Iya iya, gue lagi sama Martin kebetulan. Gue langsung ke sana, ya."
"Kenapa?" tanya Martin setelah Melisa menutup teleponnya.
"Ruangan kita kena bobol," jawab Melisa. "Dan katanya ada surat kaleng di sana."
"Surat kaleng?"
Melisa mengangguk. "Protes."
"Protes? Atas dasar apa protes kayak gitu?" tanya Martin tidak mengerti. Namun, tarikan tangan Melisa di tangannya membuat cowok itu berlari di belakang Melisa mengikuti.
Melisa sangat panik, tapi berusaha terlihat baik-baik saja. Yang ia perlukan saat ini hanya sampai secepatnya di ruang tim jurnalistik dan memastikan keadaan aman terkendali. Ia menaiki anak tangga dengan cepat, berdesakan di antara siswa lain yang hendak beristirahat.
Sesampainya di ruang tim jurnalistik, beberapa anggota tim sudah sampai di sana dan mengelilingi sebuah meja. Melisa melepas pegangannya pada Martin dan menghampiri meja itu.
Andin dan Hangga bergeser memberi ruang pada Melisa untuk melihat surat kaleng tersebut. Mata Melisa membulat dan ia menutup mulut dengan tangan saat melihat isi surat kaleng itu.
"Apaan sih?" tanya Martin mencoba melihat isinya. Kesal ia rasakan saat melihat foto Melisa ditandai dengan tanda silang berwarna merah di sepanjang wajahnya. Dan spidol hitam di bibirnya. "Siapa yang beraninya ngirim ginian?"
Martin memandang satu per satu anggota tim jurnalistik, dan mereka menggelengkan kepalanya. Cowok itu juga melihat ke arah jendela ruang tim jurnalistik yang pecah karena botol yang berisi surat kaleng ini dilemparkan dari sana.
"Kalian beneran nggak ada yang tau siapa pelakunya?" tanya Martin sekali lagi memastikan. Wajah cowok itu memerah, emosi sedang merasuki pikirannya.
Melisa menghampiri Martin. "Nggak apa-apa, Mart. Nggak apa-apa."
"Gimana nggak apa-apa?" jawab Martin kesal. Ia memandang Melisa tajam. "Lo liat deh gimana mereka nyoret-nyoret foto lo. Tanda hitam di mulut, maksudnya apa? Lo disuruh diem? Jadi ini tanda protes mereka karena artikel lo?"
"Udah tenang, Tin. Semua kan belum ada bukti jelasnya," ucap Hangga berusaha menenangkan. "Kita baru dapet satu surat, dan belum punya calon orang yang dituduh."
"Baru satu kali?" ulang Martin. "Jadi lo butuh berapa kali lagi kita diginiin supaya bisa bilang ini bahaya? Dan menurut lo siapa lagi yang ngelakuin ini kalo bukan calon ketua OSIS yang punya rekam jejak nggak bagus?"
"Nyaris semua calon punya rekam jejak nggak bagus, Martin," kata Andin. "Kita nggak bisa asal nunjuk gitu aja tanpa bukti."
"Gimana lagi bukti yang lo mau? Periksa sidik jari di botol? Percaya sama gue, orang itu pasti udah mikirin hal itu. Dia pasti hati-hati."
"Siapa sih maksud lo, Tin?" tanya Hangga mulai kesal dengan sikap Martin.
"Menurut lo siapa orang yang punya rekam jejak dan mungkin ngelakuin hal kayak gini?"
Hangga mengangkat alisnya.
"Median Rakaditama, siapa lagi selain dia?"
"Martin, udah," kata Melisa dengan nada tegas. "Kita bakal cari tau lagi siapa yang ngelakuin ini, tapi bukan sekarang. Kita tunggu dulu."
"Gue nggak ngerti sama kalian. Kalian udah tau siapa yang mungkin ngelakuin hal ini, tapi kalian masih mau nunggu? Nunggu apa lagi? Dia ngelempar lewat jendela dan mecahin kaca jendela itu udah kekerasan!" sentak Martin. "Kalo kalian nggak mau ngurus ini langsung ke Median, gue yang bakal maju!"
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Fiksi RemajaMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...