"Mungkin lo lupa gue, Mel, tapi gue masih inget lo dengan jelas," kata cowok itu.
"Siapa?" tanya Melisa bingung, bibir penuhnya sedikit terbuka.
"Gue Mal."
Melisa nyaris tersedak begitu mendengar perkataan cowok di hadapannya ini. Ragu, ia menatap cowok itu sekali lagi, mencari celah mungkin saja cowok di hadapannya ini berbohong.
"Gimana?" tanya Melisa sekali lagi. "Lo ini ... Mal? Temen kecil gue?"
Median mengangguk, dengan sangat yakin. Melisa menatap langsung ke dalam matanya, berharap bisa menemukan kejujuran di sana, tapi nihil. Pandangan cowok itu sangat datar, tidak ada binar.
"Gue Mal, dan gue ke sini karena gue mau minta maaf sama lo," kata Median lagi. "Gue minta maaf udah ninggalin lo dulu, waktu itu gue masih—"
"Bentar," potong Martin membuat Melisa menoleh ke arahnya. "Jadi Melisa ini nyari temen kecilnya dan lo," cowok itu menunjuk ke arah Median, "tiba-tiba dateng ke sini bilang kalo lo adalah temen kecilnya Melisa?"
Median mengangguk, pandangannya lurus dan tajam ke arah Martin. "Kenapa?"
"Apa lo punya bukti?" tanya Martin lagi, entah kenapa hatinya tidak rela begitu tahu ada orang lain yang dicari Melisa dan akhirnya ia temukan.
"Lo butuh bukti apa?"
Martin mengangkat bahunya. "Apa pun yang bisa jadi bukti, yang jelas ... gue butuh bukti."
"Yang butuh bukti harusnya Melisa, bukan lo," kata Median dengan nada tegas. Pandangannya beralih ke Melisa yang hanya diam dan menatap lurus ke depan. "Mel, gue cuma mau minta maaf sama lo, karena gue ninggalin lo dulu, tapi kalo lo masih butuh waktu untuk—"
"Kita ngomongnya nggak di sini, Medi," kata Melisa cepat, ia berdiri kemudian berjalan mendahului cowok itu. "Kita ngobrol di tempat lain."
"Loh, Mel?" panggil Martin, ia benar-benar tidak ingin Melisa pergi dengan Median. Ia masih berharap Melisa adalah teman masa kecilnya yang hilang.
Melisa menengok ke arah Martin. "Pulang sekolah kita ketemu di base camp, ya!" katanya lalu kembali berjalan meninggalkan Martin.
Di belakang Melisa, senyum miring Median terukir. Ia melempar tatapan sinis ke arah Martin, hanya sepersekian detik, lalu kembali memandang datar. Tangan Martin terkepal. Ia kesal, tapi entah untuk apa.
Cowok itu menjatuhkan dirinya lagi di kursi, dan meminum minumannya cepat hingga habis. Ia harus segera menetralkan diri dari emosi ini. Melisa bukan teman masa kecilnya, bukankah temannya itu bernama Dita?
Dengan tergesa, Martin setengah berlari meninggalkan kantin. Ia berharap waktu berjalan lebih cepat saat ini.
✩ ✩ ✩
Nyatanya, tidak ada tempat lain yang dituju oleh cewek berponi itu selain base camp jurnalistik yang selalu berhasil menjadi tempatnya berbicara dengan tenang. Ia membuka pintu dan duduk di kursinya, lalu mempersilakan Median masuk.
Pandangan Melisa tajam, ia terus memandangi Median dari atas hingga ke bawah. Menimang, apa mungkin cowok itu adalah Mal-nya yang hilang.
"Jadi ... lo ini Mal?" tanya Melisa pelan.
Median yang baru saja duduk di kursi langsung mengangguk mantap. Ia membetulkan letak kacamatanya, lalu bersandar. "Iya, gue udah coba nyari lo ke mana-mana, tapi nggak ketemu."
Melisa menarik napasnya panjang. "Mal? Kalo lo bilang dulu lo nyari gue nggak ketemu-temu, kenapa sekarang akhirnya lo bisa nemuin gue?"
"Gue ke rumah lo yang dulu," kata Median dengan nada suara tenang dan penuh keyakinan. "Gue ketemu sama orang yang sekarang tinggal di rumah lo yang dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Teen FictionMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...