| k e p i n g d u a b e l a s |

1.4K 211 13
                                    

"Cara lo ngeliat dia, beda banget. Gue penasaran, apa mata lo bakal berbinar juga pas lo ngeliat gue kayak pas lo ngeliat dia?"

Melisa memukul lengan Martin. "Kenapa lo sok puitis gini? Salah makan, ya? Udahlah, pulang yuk."

Jawaban Melisa membuat Martin mengerucutkan bibir. Entah apa yang dipikirkannya selama ini, ia hanya ingin terus berada di sebelah Melisa. Dan berharap bahwa teman masa kecilnya ini adalah Melisa.

Melisa menggendong tas ranselnya dan berjalan mendahului Martin. Ia terus memegang buku catatan kecil dan menulis sepanjang jalan menuju parkiran.

"Mel."

Cewek itu menoleh. "Kenapa lagi?"

"Nama panjang lo siapa sih?"

Kening cewek itu mengerut. "Melisa Herdita, kenapa?"

"Gue lagi nyocokin," jawab Martin sambil tersenyum miring. "Nama lo kalo disambung sama nama belakang gue bakal cocok apa nggak?"

"Maksudnya?"

"Jadi Melisa Herdita Timothio, dipanggilnya Nyonya Timothio," kata cowok itu sambil berlari menjauh sebelum Melisa mengerti maksudnya.

"MARTIN!" panggil Melisa sambil mengejar cowok itu setelah terdiam sesaat. "Lo cringe banget tau! Cringe!"

Cowok yang menyampirkan jaket di pundaknya itu berlari lebih kencang dan tertawa sambil sesekali meledek Melisa.

✩ ✩ ✩

Jam sudah menujukkan pukul sebelas malam, tapi mata bulat Melisa belum mengantuk sedikit pun. Ia terus berselancar di depan laptop dari halaman ke halaman lain sambil mencatat beberapa detail.

Besok ia akan bertemu dengan tim ke empat, tim penyelidikan terakhir untuk calon ketua OSIS terakhir di periode kali ini. Dan yang membuat Melisa sedikit terbebani adalah karena Median, calon terakhir itu, mengatakan bahwa ia adalah teman kecil Melisa yang hilang.

Melisa memijat pelipisnya pelan, kemudian menyandarkan tubuh di kursi. Apa memang benar Median adalah teman kecilnya yang hilang? Lalu kenapa baru muncul sekarang? Bagaimana jika Melisa menjadi tidak objektif karena hal itu?

Ia menaruh pulpen di atas meja belajar dan berdiri untuk mengambil lembaran masker wajah di laci meja riasnya. Ia mulai merasa lelah, tapi tidak mengantuk. Masker wajah itu ditempelkan dengan rapi pada wajah cantik Melisa, lalu ia kembali ke depan laptop-nya.

"Median, Median. Kenapa gue nggak bisa dapet informasi apa pun dari sosial media lo?" batin Melisa sambil terus melakukan pencarian.

Lima belas menit Melisa terus mencari, tapi ia tetap tidak menghasilkan apa pun. Semuanya nihil. Akun Instagram Median memang berhasil ia temukan. Namun, tidak ada informasi yang didapatnya dari situ.

Dengan kesal, Melisa berjalan menuju kamar mandi untuk melepas masker wajahnya di depan cermin. Bayangannya di cermin tampak kesal sekaligus sedikit lelah. Matanya terbuka lebar tiba-tiba saat ia mendapat ide brilian di otaknya.

Buru-buru cewek dengan rambut panjang dan bibir yang penuh itu kembali ke depan laptop. Ia mengetik sebuah nama: Brenda Rakaditama. Poof! Dalam sekejap ia menemukan berbagai informasi melalui pencarian pertamanya itu.

Melisa mengambil sebuah permen karet rasa strawberry dan mengunyahnya pelan untuk mengurangi rasa lapar. Mata dan jarinya berulang kali bergerak, mencari informasi. Lalu ia pindahkan semua informasi itu ke buku catatan kecilnya, berulang kali setiap ia menemukan informasi yang dianggap penting olehnya.

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang