"Gue penasaran banget sama Median," ucap Melisa tiba-tiba. "Namanya ngingetin gue sama temen kecil gue yang hilang."
Mata Martin terbuka lebar saat mendengar perkataan Melisa. "Lo punya temen kecil yang hilang?"
"Eh?" Melisa memandang Martin dengan bingung. "Kenapa emang?"
Martin menggeleng. "Nggak, gue cuma nanya. Ya mungkin lo udah denger kalo gue pindah ke Bandung karena gue nyari temen kecil gue juga."
"Oh," jawab Melisa sedikit tidak peduli. "Iya, gue punya temen kecil, tapi gue nggak tau dia hilang atau emang sengaja menghilang."
"Gimana kalo ternyata Martin dan Melisa itu sebenernya temen kecil? Jadi Melisa ini sebenernya orang yang dicari sama Martin," kata Andin tiba-tiba.
Hangga tertawa lebar. "Gue juga mikir gitu dari tadi, kayaknya kalian juga akrab banget."
"Akrab dari mana?" tanya Melisa kesal. "Nggak ada akrab-akrab. Udahlah, gue mau balik aja. Kalian jangan lupa kunci pintu kelas dan kasih kuncinya ke Pak Ahmad."
Melisa mengambil tasnya dan bergerak meninggalkan ruangan. Ia berusaha tidak memikirkan kemungkinan kalau Martin adalah teman kecilnya yang hilang. Itu tidak mungkin, dan ia tidak menginginkan hal itu terjadi.
"Eh iya, gue masih ada urusan sama lo," kata Melisa. Ia memutar tubuh dan menunjuk Martin dengan dagunya. "Urusan kita tadi belum selesai, ayo cepet kita selesaiin sambil jalan pulang."
Martin menarik ranselnya. "Lo ngajak gue pulang bareng, Mel?"
Mata Melisa terbuka lebar mendengarnya.
"Ya udah ayo pulang," kata Martin sambil berjalan ke arah Melisa lalu hendak merangkulnya. Sayangnya, belum sampai tangan itu merangkul pundak Melisa, cewek itu langsung menghempas tangan Martin. "Nggak usah malu-malu gitu, Mel," ledek Martin sambil tertawa.
Melisa mengerucutkan bibir dan melipat tangan di dada. "Urusan kita yang belum selesai itu nggak kayak gini."
Hangga dan Andin bersiul di belakang keduanya, mereka tertawa meledek dan dijawab dengan tawa renyah Martin. Membuat Melisa semakin kesal.
"Hangga, Andin! Pulang sekarang!" sentak Melisa, dengan nada tegas yang sedikit merengek.
Andin tertawa semakin keras. Ia pun segera mengambil tas lalu berjalan mendahului Martin dan Melisa. "Gue duluan, Mel. Baik-baik sama Martin, ya."
Hangga menyusul Andin lalu menyerahkan kunci pada Melisa. "Gue juga balik duluan, Mel," ucap Hangga, matanya berkedip ke arah Martin. "Jagain Melisa ya, Bro. Barang bagus nih."
Melisa memukul pundak Hangga dengan tasnya. "Hangga!"
Tawa Hangga meledak, ia berlari menjauh dan meninggalkan Melisa bersama Martin. Melisa melipat tangannya di dada, kesal dengan sikap dua temannya tadi.
"Urusan apa yang belum selesai?" tanya Martin, ia tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya.
"Video rekaman itu," jawab Melisa. "Lo harus kasih ke gue."
"Kenapa?"
"Karena," Melisa berjalan menyusuri lorong menuju pagar sekolah. Tangan cewek itu menengadah, lalu sedikit bergetar menyadari langit berubah menjadi lebih gelap dari biasanya. "Karena gue nggak percaya sama lo."
"Kenapa nggak percaya sama gue?" tanya Martin, lebih menuntut. "Apa gue keliatan segitu brengseknya sampe lo nggak percaya kalo gue bakal buang video itu?"
Melisa mengangkat bahu. "Literally, gue nggak percaya sama semua orang. Bukan cuma sama lo."
"Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Teen FictionMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...