"Gue bakal kasih tau lo semuanya, besok. Dan gue bakal bawa buktinya."
Senyum kemenangan Melisa mengembang dan ia tidak sungkan untuk menunjukkannya pada cowok yang berdiri di sebelahnya dengan wajah tidak percaya. Cewek itu berjalan ke arah Katrin.
"Serius? Makasih banget ya, Kat. Gue tunggu besok, oke?" katanya dengan wajah bahagia yang tidak ditutupi.
Katrin mengangguk. "Tapi lo janji semuanya bakal aman, kan? Andin nggak akan tau kalo itu dari gue?"
"One hundred percent, I promise," jawab Melisa, menenangkan sekaligus meyakinkan Katrin untuk yang terakhir kalinya.
"Oke, besok gue bakal bawa semuanya buat lo," kata Katrin yang langsung berbalik dan meninggalkan Melisa.
Melisa tersenyum lebar sambil membuka kedua tangannya. "See? Kadang kita memang harus main peran supaya bisa menang, Mart. Nggak cuma modal emosi kayak lo."
Senyum masam Martin hadir. "Gue cuma takut kita kehilangan informan aja. Orang yang deket sama Andin itu jarang banget, dan susah dicari."
"Iya, iya. Ya udah, gue mau makan dulu. Lo mau ikut atau mau ke—Devan!" panggil Melisa tiba-tiba ketika melihat sosok berkacamata yang memegang beberapa buku di tangannya.
Melisa cepat-cepat meninggalkan Martin dan menuju cowok itu. Senyumnya mengembang dan wajahnya bersemu merah.
"Kenapa, Mel?" kata cowok itu sambil menaikkan kacamatanya.
"Gue mau minta maaf soal waktu itu," jawab Melisa. "Gue udah bersikap kekanakan dan nggak logis."
"Minta maafnya sama Davia, bukan gue," jawab lawan bicaranya dengan nada datar. "Gue cuma berharap lo bisa dapet pelajaran penting dan nggak ngulang kesalahan yang sama lagi. Lo tau kan, nggak semua hal bisa lo dapet?"
Melisa mengangguk, ia benar-benar sudah menyadari perbuatannya. "Iya, gue tau. Gue bakal berusaha ngilangin sifat egois gue."
"Ya udah bagus, kalo gitu gue masuk ke kelas dulu, ya. Masih harus nyiapin soal buat nanti latihan," pamit Devan.
Tiba-tiba saja, Melisa menahan lengan cowok itu. "Gimana kalo makan siang bareng sama gue?"
Wajah Devan yang sempat berubah ramah langsung berubah keras kembali. Tatapannya datar, dan tajam menusuk Melisa.
"Gue nggak maksud ngapa-ngapain. Gue cuma ngajak lo makan siang bareng sebagai temen. Gue sadar kalo lo terlalu jauh buat gue raih. Gue beneran cuma mau temenan sama lo, Dev."
Cowok berkacamata itu memutar tubuh dan menghadap pada Melisa. Ia sedikit menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan cewek yang saat ini tampak canggung sekaligus ketakutan itu. "Bukan masalah terlalu jauh atau nggak, tapi gue memang bukan yang tepat buat lo. Gue bukan orang yang tepat buat siapa pun. Dan kalo lo beneran niat temenan sama gue, lo masih harus yakin sama niat lo itu dulu. Gue nggak mau nantinya ada salah paham lagi."
Setelah mengatakan itu, Devan meninggalkan Melisa yang menggigit bibir sambil menunduk malu. Ia merasa sangat terpukul akibat penolakan Devan, meskipun ia hanya mengajaknya berteman.
"Kalo mau nangis jangan di sini."
Seseorang menarik tangan Melisa dan membawanya pergi. Melisa hanya membiarkan tubuhnya bergerak, entah ke mana. Ia masih begitu sedih dan merasa kosong karena penolakan tadi.
Langkah keduanya berjalan beriringan. Menyusuri lorong dan menaiki anak tangga satu per satu. Sampai akhirnya pandangan Melisa diserang oleh sengatan cahaya yang cukup terik.
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Teen FictionMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...