"Mel, tadi Median itu ... beneran temen kecil lo?"
Sedikit terkejut, Melisa menengok ke arah Martin dengan pandangan bingung. Ia menaruh pulpennya di meja, lalu mengusap tengkuknya, tanda tidak nyaman.
"Gue belum yakin dan nggak tau. Mungkin iya, dia temen kecil gue, tapi kayak ada yang aneh sama dia," jawab Melisa lagi. "Kenapa?"
Martin mengangkat bahunya. "Nggak apa-apa sebenernya, cuma gue nggak suka sama dia."
"Nggak suka kenapa?"
"Kenapa, ya?" Martin bertanya pada dirinya sendiri. "Gue nggak ngerasa nyaman aja sama dia. Nggak ada alasan. Apalagi pas kita ngomong sama Brenda."
Melisa mengerutkan kening. Berusaha mengingat.
"Lo nggak ngerasa kalo Brenda bersikap aneh waktu itu, Mel?"
"Rada aneh, sih," jawab Melisa. "Cuma ya udahlah. Buat saat ini gue iyain aja pengakuan dia. Gue juga nggak bener-bener pengin ketemu orang yang bikin gue ngalamin pobia ini, kok."
"Maksudnya?" tanya Martin dengan mata membulat tanda antusias. Ia duduk di depan Melisa sambil memangku dagu dengan tangan. "Jadi lo pobia hujan karena temen kecil lo itu?"
Melisa tertawa. "Kok lo ngurusin banget urusan orang, sih? Mending lo pikirin gimana buat nyari info lebih soal Dwi. Gue mau minta temenin lo buat ketemu sama Katrin, lo bisa nyiapin pertanyaan dasar dulu, kan?"
"Dia kan temen sekelas lo, Mel. Emang harus banget sama gue?"
Bibir Melisa tersenyum miring. "Kan lo wakil gue, dan lo juga cukup jeli buat nyari hal yang ganjil. Jadi gue perlu lo buat ada pas gue wawancara Katrin."
"Besok jam berapa?"
"Istirahat kedua, biasa. Bisa, kan?"
Martin mengangguk. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. "Kita berarti bakal ketemu di jam istirahat kedua dan pulang sekolah buat bahas Keith, kan?"
Sebuah anggukan menjadi jawaban Melisa. Ia juga mulai merapikan kertas-kertas dan barang bawaannya ke dalam tas. "Kenapa?"
"Lama-lama kita cinlok, Mel," jawab Martin dengan nada meledek.
Tawa Melisa pecah. "Cilok kali. Udah yuk, pulang. Udah makin sore juga, gue takut nanti hujan."
Martin mengangguk. Ia merapikan bangku dan berjalan ke luar ruangan mendahului Melisa yang hanya berjarak beberapa langkah darinya.
"Mel, mau bareng?"
Untuk sesaat tidak terdengar jawaban Melisa. Ia hanya diam sambil memperhatikan Martin yang malah terlihat gelisah. Bibir tebalnya menyunggingkan senyum.
"Boleh. Kebetulan gue nggak bawa mobil."
Martin terlihat lega. Ia menarik tangan Melisa agar berjalan di sampingnya dan mengambil kunci ruangan jurnalistik. Melisa sedikit bingung dengan sikap Martin, tapi dia mencoba tidak berkomentar. Meskipun sudah begitu banyak yang memperlakukannya dengan istimewa, tapi perlakuan Martin terasa berbeda.
"Udah gue kunci, ayo jalan. Nanti keburu hujan," kata cowok itu sambil memberikan kunci ruangan ke tangan Melisa. Ia menggamit lengan Melisa agar terus ada di sampingnya.
"Lo kenapa, Mart?" tanya Melisa akhirnya. Ia tidak terbiasa menahan rasa ingin tahunya. Apalagi Martin terlihat sangat aneh dan efek yang cowok itu berikan padanya juga sangat aneh.
"Kenapa apa?"
Mata Melisa mengerling ke tangan Martin yang memegang lengannya, lalu tersenyum. "Itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Teen FictionMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...