| k e p i n g d u a |

2.2K 295 20
                                    

Kemudian Melisa berjalan meninggalkan kamar mandi yang terus terdengar gedoran dari dalam. Ia menulikan telinganya. Bukannya ia tidak tahu kalau sikapnya adalah kesalahan besar, tapi ia sama sekali tidak terima karena posisinya terkalahkan oleh cewek yang sama sekali tidak ada apa-apanya menurut Melisa. Ketika Melisa akan berbelok menuju lorong kelasnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang dengan nada sinis.

"Gue rasa, lo bakal nyesel pas tau ini."

Langkah Melisa terhenti, ia memutar tubuh dan seketika mundur beberapa langkah sambil melipat tangan di dada. "Baru juga sehari, ngapain lo muncul lagi depan gue?"

Pemilik suara itu tersenyum, ia berjalan menghampiri Melisa sambil memperlihatkan layar ponselnya yang memutar sebuah video. Wajah Melisa memerah, tangannya terkepal.

"Lo—"

Cowok itu menarik ponselnya, lalu menatap Melisa tajam. "Kira-kira reaksi dari pembimbing jurnalistik bakal kayak apa, ya, kalo ngelihat kelakuan ketuanya begini? Nge-bully anak orang sampai ngunciin di kamar mandi, loh."

Melisa maju dan mencoba mengambil ponsel di tangan cowok itu. "Mau lo apa sih, Martin? Gue nggak ganggu lo, dan harusnya lo juga nggak ngeganggu gue!"

"Mau gue apa?" tanya Martin lagi. "Bukannya lo udah tau, ya, mau gue apa?"

Kepala cewek berponi itu menggeleng. "Gue nggak akan pernah terima lo sebagai anggota jurnalistik. Jangan mimpi lo."

"Yakin?" tantang Martin, ia menggerakkan ponsel di hadapan Melisa. "Kayaknya posisi lo bisa berubah jadi 'mantan' ketua jurnalistik deh kalo gue ngasih liat video ini."

Geram, Melisa memukul pelan lengan cowok itu. "Jangan coba-coba ancam gue," katanya dengan suara yang dalam. "Gue nggak takut sama ancaman lo dan apa pun yang bakal lo lakuin sama video itu."

Martin menatap tajam cewek di hadapannya, ia tersenyum miring. Keteguhan hati cewek ini boleh juga, ia sama sekali tidak terlihat takut atau ragu, bahkan ketika Martin sudah memegang kartu mati atas kesalahannya.

"Gue kasih lo waktu tiga hari," bisik Martin. "Cuma tiga hari, dan lo perlu pikirin ini semua sebaik-baiknya. Terima gue di tim jurnalistik, atau jabatan lo bakal melayang."

Baru saja Melisa akan membuka mulut untuk menjawab, Martin sudah menahannya dengan isyarat. Ia menggeleng sambil menaruh jari telunjuk di bibirnya sendiri. "Take care, pikirin baik-baik, Mel. Gue tau lo cewek pinter."

Setelah mengatakan hal tersebut, Martin menjauh dari tubuh kaku cewek itu dan berjalan meninggalkannya sendirian. Tubuh Melisa bergetar, ia menahan berbagai macam emosi yang berkecamuk. Antara marah, kesal, tapi juga khawatir.

Ia tidak bodoh, sangat tidak bodoh. Ia tahu Pak Robi akan mencabut haknya sebagai ketua jurnalistik bahkan mungkin menendangnya keluar jika melihat video itu. Bagaimanapun, melakukan tindak bully pada murid lain adalah hal yang salah.

Cewek itu bergerak, sekuat tenaga ia menahan kakinya yang limbung. Andai saja ia tidak begitu emosi tadi dan membiarkan Davia bebas, mungkin Martin tidak akan memanfaat situasi begini untuk menyudutkannya. Ya, andai saja ia lebih bisa mengontrol emosinya.

✩ ✩ ✩

Sepulang sekolah, Melisa mengadakan rapat bersama seluruh anggota jurnalistik. Basecamp jurnalistik terdapat di lantai satu, tepat di sebelah ruang kesehatan dan basecamp PMR-KKR. Biasanya, Melisa tidak akan melakukan pertemuan tim lengkap di dalam ruangan itu, karena dianggap terlalu kecil, tapi kali ini berbeda.

Setelah semua anggotanya berkumpul dan duduk melingkari mengikuti susunan bangku yang memang didesain seperti meja rapat, Melisa berdiri dan berdeham.

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang