"Mau ke mana, lo? Udah punya jawaban buat pertanyaan gue kemarin?"
Melisa menghempas tangan Martin yang mencekal lengannya. "Gue nggak ada komentar buat ini. Waktu gue masih dua hari, dan sampai waktunya habis, lo nggak berhak mengintimidasi gue lebih."
"Dan seharusnya lo nggak berhak buat cari tau soal gue," jawab cowok itu tidak terima.
"Kata siapa? Gue berhak dong, kan gue perlu membuat pertimbangan soal keputusan gue," balas Melisa.
"Lo nyari informasi buat pertimbangan keputusan, atau buat ngejatuhin gue balik? Ngomong jujur aja, Mel. Lo mau nyari cara buat jatuhin gue, kan?"
Skak mat. Melisa diam, tidak menjawab sama sekali. Ia hanya membuang wajahnya ke samping dan menghindari bertatapan wajah langsung dengan cowok tengil di hadapannya. Dalam hati, ia merutuk karena cowok itu seperti bisa membaca apa yang dipikirkannya saat ini.
"Lo nggak akan nemuin celah soal gue, Mel," jawab Martin lagi. "Gue nggak ngelakuin hal buruk cuma karena kalah saing sama yang lain."
Perkataan Martin dilengkapi dengan penekanan dan nada lebih tinggi di setiap kalimatnya. Wajah Melisa kembali memerah. Ia tidak habis pikir kenapa cowok ini mampu membuatnya terdiam.
"Lo berdua ngapain, sih?" tanya Hangga tiba-tiba. "Kenapa ribut banget soal rahasia atau apalah gue nggak paham?"
Melisa menuding Martin. "Dia ngancem gue supaya boleh masuk tim jurnalistik, Hang."
"Beneran?" tanya Hangga sambil menatap Martin yang hanya mengangguk mengiyakan. "Ada-ada aja sih, lo, Tin. Gue bisa bantu ngomong kalo emang lo pengin masuk juralistisk," kata Hangga, ia menggelengkan kepalanya kesal. "Lo juga, Mel, kita butuh orang kayak Martin buat cari informasi. Informan dia nih banyak banget, dan idenya juga lumayan."
Mata Melisa yang sudah bulat semakin membulat mendengar perkataan Hangga. Kenapa teman satu eskulnya ini malah membela orang lain?
"Maksudnya?" tanya Melisa tidak suka.
Hangga mengangkat bahu. "Kayaknya omongan gue cukup jelas, Mel. Kita butuh orang kayak Martin di dalam tim."
"Dia ini bisa aja jadi pengkhianat dan ngebocorin rahasia!" sentak Melisa kesal, ia tidak suka saat Martin memperlihatkan senyum kemenangan padanya. "Gue nggak mau ambil risiko."
"Gue ini sumber informan yang baik buat siapa pun yang merekrut gue ke dalam timnya," sahut Martin, matanya memandang tepat ke manik mata Melisa, "dan gue adalah musuh yang buruk untuk siapa pun yang memilih untuk berbeda kubu dengan gue."
"Lo ngancem lagi?" tanya Melisa kesal. "Bisa nggak, lo berhenti ngancem-ngancem gue?"
Martin tertawa. "Nggak ada yang ngancem lo, Mel. Kalo lo merasa terancam, ya itu pilihan lo."
Hangga berdiri di antara keduanya, menengahi. "Ya udahlah, nggak usah ribut terus kalian berdua. Capek gue liatnya."
"Bilangin sama dia supaya nggak muncul di sekitar gue mulu," jawab Melisa sambil menunjuk Martin lalu memutar tubuh dan menjauh kedua cowok itu.
Langkah kaki cewek itu terburu-buru, ia bahkan lupa dengan citra ramah yang selama ini ia pegang. Beberapa kali ia mengabaikan sapaan dari adik kelas ataupun kakak kelasnya. Melisa hanya ingin cepat sampai di kelas. Ia tidak ingin bertemu siapa pun saat ini.
✩ ✩ ✩
Melisa memperhatikan jam di tangan kirinya, sudah lima belas menit sejak bel pulang berbunyi dan baru lima dari dua puluh anggota tim jurnalistik yang berada di dalam ruangan. Ia tampak gelisah, pasalnya, ramalan cuaca mengatakan sore ini akan hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Teen FictionMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...