"Mel?" tanya Martin cepat, ia menghampiri Melisa dan mengambil ponsel Melisa yang terjatuh dan masih memutar video. Cowok itu terkejut melihat isinya. Ia sangat mengenal rekaman video itu, dan pandangannya langsung tertuju pada anggota jurnalistik lain yang sedang membuka ponsel mereka.
"Kak Mel," panggil Dio, "ini beneran Kak Melisa?" tanyanya dengan sorot penuh kekecewaan. "Kak Mel beneran ngelakuin ini ke Davia cuma karena Kak Devan?"
"Gue," Melisa tergagap, ia memandang Martin tajam seolah akan menelan cowok itu hidup-hidup jika saya cowok itu bergerak lebih jauh. "Gue nggak tau."
Beberapa anggota tim menundukkan kepalanya, mereka kecewa, sangat jelas terlihat. Melisa yang selama ini mereka jadikan panutan dan selalu mengingatkan hal positif pada mereka nyatanya tidak lebih dari seorang anak SMA yang suka menjatuhkan temannya.
"Gue bisa jelasin," kata Melisa dengan tidak yakin. Ia memandang kecewa seluruh anggota timnya yang tampak juga sama kecewanya dengan cewek itu. "Di video itu ... video itu emang gue, tapi—tapi gue sama sekali nggak maksud kayak gitu. Gue nggak mikir panjang emang."
"Nggak apa-apa, Mel," kata Hangga. "Kita bisa ngerti kok. Namanya manusia, khilaf dikit kan wajar."
"Iya, Mel. Lo juga udah minta maaf kan sama Davia?" lanjut Andin berusaha membela Melisa. "Dan Davia juga udah maafin lo dengan baik, kan? Masalah udah selesai."
Melisa mengangguk. Ia melihat senyum tipis tercipta di bibir anggotanya. "Ya udah, kita bubarin aja rapatnya. Jangan lupa gue tunggu laporan dari tiap tim mulai lusa, ya."
Hening. Semua hanya bergumam dan mulai merapikan barang-barang bawaannya lalu berjalan meninggalkan ruang jurnalistik. Melisa jatuh terduduk sambil membenturkan kepalanya ke meja.
"Gimana bisa kayak gini sih?" katanya berulang kali dengan kesal.
"Mel, lo mau balik bareng gue dan Andin nggak?" tanya Hangga memecah keheningan yang canggung. Ia melihat Martin yang memandang kosong ke depan dengan ragu.
"Lo duluan aja," kata Melisa. "Ada yang perlu gue selesaiin sama Martin."
"Oke, jangan pulang malem-malem ya lo berdua," kata Andin sambil berjalan ke luar ruangan. Sebenarnya ia ragu meninggalkan Melisa dan Martin yang sedang dalam kondisi tidak baik seperti ini. Namun, Andin tidak memiliki pilihan lain. Mungkin memang mereka harus menyelesaikan masalahnya masing-masing.
Setelah Andin dan Hangga pergi, keheningan di antara Melisa dan Martin mulai terasa mengganggu. Ini bukan jenis hening yang disukai oleh keduanya. Ini hening yang menyedihkan.
"Kenapa?" tanya Melisa memecah keheningan mereka.
Martin mengangkat wajah. "Apa?"
"Kenapa lo bohong sama gue?"
"Bohong soal apa? Rekaman video itu?" tanya Martin. "Bagian mana dari rekaman ini yang bikin lo nuduh gue bohong sama lo?"
"Lo bilang lo nggak punya salinannya," kata Melisa dengan nada cukup tinggi. "Lo bilang nggak ada satu pun orang yang tau soal rekaman ini!"
"Emang nggak ada, Mel," jawab Martin. Ia menghampiri Melisa dan membentuk tanda damai dengan jari telunjuk dan tengah kirinya. "Gue berani sumpah sama lo, gue nggak pernah ngasih tau rekaman ini ke siapa-siapa. Gue cuma ngasih tau ke elo, dan udah. Gue nggak bikin salinannya apa lagi niat nyebarin."
"Bohong."
"Gue serius!"
Melisa menggebrak meja di hadapannya. "Lo bohong! Kalo lo bilang nggak bikin salinannya, kenapa rekaman video itu bisa nyebar? Kalo lo nggak ngasih tau siapa pun soal ini, kenapa rekaman videonya bisa dipegang sama orang lain? Jawab Martin! Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Teen FictionMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...