"Lo boleh ngerasa menang sekarang, tapi gue bakal buktiin semuanya. Dan gue peringatin sekali lagi sama lo," Martin menghampiri Median tiba-tiba, menguncinya dengan pandangan menusuk, lalu menunjuk tepat di depan kacamata cowok itu, "jangan pernah sekalipun lo berani sentuh atau nyakitin Melisa lebih dari ini."
"Lo siapanya Melisa emang sampai berani ngancem gue begini? Pacarnya?"
"Gue ...."
"Lo siapanya?" ulang Median lagi.
Bibir Martin kaku, ia tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun. Ia juga tidak tahu apa yang membuatnya merasa harus membela dan menjaga Melisa seperti ini. Ia hanya tidak ingin cewek itu terluka.
"Kalo lo bukan siapa-siapanya Melisa, lo juga nggak ada hak buat ngancam gue kayak gini," jawab Median tetap dengan nada tenang. Ia merapikan seragamnya, lalu berjalan meninggalkan Martin. "Pikir baik-baik apa yang bakal lo lakuin selanjutnya. Karena sekali lo salah ngelangkah, lo tau akibatnya bakal fatal. Nggak cuma buat lo, tapi juga Melisa."
Tangan Martin mengepal dengan sangat kuat. Ia ingin sekali memukul wajah Median hingga babak belur karena sudah mengatakan itu padanya. Namun, ia tidak ingin Melisa terlibat masalah lagi. Tidak sekarang.
✩ ✩ ✩
Baru kali ini Melisa menangis seperti anak kecil yang kehilanhan mainannya. Baru kali ini sejak ia menangis terakhir kali di pemakaman orang tuanya. Dan baru kali ini ia merasa begitu tidak berdaya atas apa yang terjadi pada hidupnya belakangan ini.
Ia memutuskan untuk membolos kelas selanjutnya dan bersembunyi di taman belakang. Tempat yang sangat sepi dan tenang. Melisa hanya membutuhkan ketenangan sekarang, dan tidak ada lagi yang ia inginkan saat ini selain itu.
Ia membutuhkan tempat di mana ia bisa bersikap begitu rapuh tanpa diketahui oleh siapa pun. Siapa bilang Melisa tidak takut pada surat kaleng itu? Siapa bilang ia tidak peduli? Ia hanya belum menemukan orang yang tepat yang mungkin bisa dipersalahkan dalam kasus ini. Ia belum menemukan bukti untuk menuduh seseorang.
Dengan latar belakang Median, sebenarnya pun Melisa setuju dengan pendapat Martin, tapi apa cowok itu sama sekali tidak bisa menunggu? Sikapnya yang gegabah malah memnbuat mereka dalam masalah saat ini.
Melisa memeluk tasnya erat, ia tadi sempat mengambil tas dari dalam kelas dan kembali keluar sebelum guru Matematikanya masuk. Pada saat seperti inilah Melisa begitu merindukan kedua orang tuanya. Andai saja waktu itu Melisa tidak menolak ikut bersama mereka, mungkin saat ini Melisa sudah bahagia bersama kedua orang tuanya di surga sana.
"Gue boleh duduk di sini?"
Sebuah suara mengagetkan Melisa, ia buru-buru menghapus air matanya dan bergeser. Ia tidak tahu siapa yang saat ini duduk di sebelahnya, yang ia tahu hanya ada orang lain yang membolos sepertinya dan menjadikan tempat ini sebagai tempat melarikan diri.
"Gue nggak punya tisu, tapi gue ada sapu tangan, lo pake aja," kata suara itu sambil memberikan sapu tangan berwarna biru dengan garis hitam di ujungnya. "Gue nggak nyangka bakal ketemu lo di sini."
"Makasih," jawab Melisa masih dengan suara serak habis menangis. Ia mengangkat wajahnya. "Lo bolos juga?"
Cowok itu mengangguk. "Niat awalnya gue mau ngobatin luka gue di ruang kesehatan, tapi pas gue liat lo bawa tas tadi ke arah sini, gue langsung berubah pikiran."
"Gue minta maaf soal Martin," kata Melisa pelan. "Gue nggak tau kenapa dia nggak bisa nahan emosinya kayak gitu."
Cowok yang ternyata Median itu tersenyum. "Bukan salah lo. Martin bergerak sendiri sesuai sama intuisinya, dan lo nggak punya andil untuk itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
a Puzzling of Journalism [END]
Novela JuvenilMelisa Herdita, semua orang mengenalnya karena ia cantik, pintar dan merupakan ketua tim jurnalistik di sekolah. Ia menjadikan timnya sebagai media netral yang kritis membahas berbagai permasalahan. Masalah dimulai ketika ia bertemu Martin, cowok na...