18. Ingin Sendiri

6.3K 457 55
                                    

Dokter baru saja memberikan injeksi obat pereda nyeri pada Daffa. Daffa memejamkan mata, sedikit mengerutkan dahinya kala kepalanya masih dilanda rasa pusing.

"Sus, tolong atur bednya sedikit lebih tinggi. Biar pasien merasa lebih nyaman." Perintah seorang dokter yang langsung dilaksanakan oleh perawat tersebut.

perawat muda itu mengatur tinggi bed senyaman mungkin untuk Daffa."Udah nyaman dek ?"

Daffa mengangguk pelan "udah sus". Jawaban Daffa yang di balas senyuman ramah oleh petugas kesehatan tersebut.

Perawat itu membereskan obat dan alat-alat pemeriksaan setelah memastikan Daffa telah nyaman dengan posisi setengah menyandar.

"Anak saya gimana dok ?"

Dokter itu tersenyum menenangkan mendengar pertanyaan Jeffry.
"anaknya gapapa  pak. Mungkin baru ngerasain sakitnya karena efek anastesinya udah hilang, Apalagi kan  kepala sama kakinya abis dioperasi " terang dokter yang memakai nametag dr. Ayman A. di jas kebanggaannya.

"Berdasarkan pemeriksaan singkat tadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya oke. Daffa mampu memberikan reaksi atas rangsangan yang saya berikan" Ungkap dokter Ayman. "Namun perlu di perhatikan, tolong agar keluarga memberikan rasa nyaman untuk pasien ya Pak. Karena mungkin saat ini pasien akan merasa lebih sensitif karena kondisinya" tambah dokter yang tampak masih muda itu.

Jeffrey mengangguk mengerti kemudian mengucapkan terimakasih pada dokter Ayman.

"Sebentar lagi perawat bakal kesini bawa makanan. Kamu abis ini makan ya. Perut kamu kosong dari kemaren karena ga makan apa-apa.  Abis itu  obatnya diminum biar adek cepet pulih. Oke ?"

Daffa memperhatikan dokter itu, matanya yang tampak sayu itu menatap polos sang dokter kala dokter itu berpesan kepada Daffa, kemudian anak itu mengangguk pelan "baik dokter."

"Good boy. Semoga Daffa cepet sembuh ya. " Ucap dokter itu memberi semangat.

"Terimakasih dokter" netra kembar anak enam belas tahun itu menghilang kala kedua sudut bibirnya  tertarik keatas membentuk senyuman.

"Kalau begitu, saya permisi Pak, Bu." Pamit dokter Ayman keluar yang di ikuti oleh perawat yang membantunya.

Handphone di saku Jeffrey bergetar tanda ada panggilan masuk. Tak lama pria dewasa itu pun  pamit keluar sebentar karena akan menjemput Ayah dan Ibunya yang ingin menjenguk Daffa sekarang  sudah di lobi rumah sakit.

Hani melangkah mendekati Daffa, mendudukkan dirinya di pinggir bangsal yang ditempati Daffa.

"Daffa.. masih sakit ya nak ?" Tanyanya pelan. ia melihat Daffa yang masih tampak lemas.

Daffa tak menjawab.  Remaja diatas bangsal itu hanya diam menatap dalam pada mata Hani.

"Daffa butuh sesuatu, hm ?" Lagi, Hani mencoba mengajak berbicara. Namun Daffa tetap diam tak menjawab pertanyaan Hani.

"Daffa kenapa menatap mama seperti itu nak ? Daffa mau apa, hm ? Bilang sama mama"

Daffa sekarang benar benar telah sadar. Otaknya berhasil mencerna apa yang diperdebatkan oleh orangtuanya tadi.

Kata papa, mama pergi dari rumah karena mama lebih memilih untuk hidup dengan kekasihnya.

Papa juga tadi berteriak pada Mama, katanya ia bukan putra kandung Papa. Itu yang barusan Daffa dengar.

Jadi itu ya alasan kenapa papa ga suka sama Daffa ? Kenapa papa ga peduli lagi sama Daffa ? Karena Daffa bukan putranya.

Mama juga ninggalin Daffa karena Mama ga ingin Daffa mengganggu kehidupan baru mama. Daffa ga berharga karena Daffa adalah anak hasil dari  kesalahan. Itu sebabnya Mama ga ingin membawa Daffa bersamanya.

PAPA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang