Ia melirik waktu jam yang melingkar di jam tangan kanannya. Hampir pukul dua belas malam. Dengan baju pendek yang menampakkan pusar, celana selutut, dan gardigan cream yang ia pegang, Sora mengintip kondisi luar kamar dari celah pintu.
Senyumnya mengambang kala di rasa aman, ia buru-buru keluar dengan langkah pelan, mengendap-ngendap dengan pandangan was-was pada sekitar, berharapan tidak ada keluarganya yang di luar kamar.
Melihat kamar Vanzo, membuatnya merapatkan sesaat telinga ke pintu kakaknya itu, tidak ada suara apapun. Semoga Vanzo benar-benar tidur. Sora celingukan. Lekas langkahnya menuruni tangga hingga mencapai pintu utama. Pelan ia buka pintu itu hingga sukses.
“Yes,” pekiknya pelan. Sudah lama ia tidak keluar. Netranya menangkap sebuah motor di luar. Dari gerbang, sora berdecak karena gerbangnya dikunci. Matanya langsung menengok ke arah pintu rumah dengan wajah ditekuk.
“Harusnya bawa dulu kunci gerbang Sora, bodoh banget.”
“Ra, itu lo?” bisikan dari depan gerbang membuatnya mendekatkan telinga dengan anggukan.
“Iya, di kunci nih gerbang. Kalau gue masuk lagi entar ketahuan.”
“Manjat aja.”
“Gila kali lo.”
“Buruan.”
Sora berdecak dan berkacak pinggang. Bola matanya langsung tertuju pada tembok tinggi samping gerbang. Ada pohon yang bisa ia panjat hingga bisa melewati tembok. Dengan lihai, ia memanjat pohon.
Dari atas bisa dilihatnya cowok berjaket hitam dengan helm full face mengarah tatap padanya. Tangannya melambai.
“Buruan, ketahuan lo nanti.”
“Iya, bawel lo kek emak gue.”
Hap
Tidak susah baginya melakukan hal itu. Ia lekas naik ke atas motor besar itu. Tanpa diberi aba-aba, laki-laki itu melajukan motornya meninggalkan area rumah Sora.
Sedikit jauh, Sora merentangkan tangannya dengan teriakan bahagia.
“Huuu … akhirnya gue bisa keluar malam lagi.”Senyumnya mengambang sempurna. Di kedinginan malam, motor itu melaju kencang menuju suatu tempat hingga berhenti di sebuah bangunan yang tampak biasa dari luar. Usai parkir, mereka masuk melewati lorong hingga masuk ke pintu berwarna hitam.
Membuka pintu itu kerlap-kerlip lampu diskotik menyambut pandangannya, suara musik berdentum keras bersama jogetan banyak manusia di lantai dancer. Iris mata Sora berbinar bahagia. Kakinya melangkah ringan mengikuti laki-laki yang tadi menjemputnya.
Meja bar adalah tujuan mereka.
“Dua botol Kak.” Suara berat itu memesan setelah duduk dengan tenang.
“Satu aja buat lo, gue nggak.”
Sebelah alis cowok itu naik, menanyakan. Sedikit heran. “Bilangnya udah lama, yakin lo nggak mau?” alis tebal lurus cowok itu saling tertaut.
Sora menggeleng. “Gue bisa ketahuan kalau gitu.”
“Bah, ribet.”
“Keluarga gue yang ini disiplinnya minta ampun, Gila, pulang lewat jam enam aja udah dihukum. Dikira zaman Siti Nurbaya kali.”
Cowok itu terkekeh. “Pilihan lo kan?”
“Ya sih, tapi seengaknya gue nggak nyesal. Di sana gue dapat apa yang nggak gue dapatkan selama ini.” Mata Sora ikut tersenyum. “Gue punya Bokap Nyokap, Punya Abang, punya adik, dan punya sahabat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Itu Bukan Aku ✓
Novela JuvenilIni tentang tokoh utama yang menghilang lalu berganti dengan orang lain. 10 September 2022