Bianca terdiam menatap susu putih di depannya. Ia tak habis pikir pada Leon yang tiba-tiba malah menyalahkannya. Ia baru saja selesai bertengkar dengan Leon melalui panggilan telepon.
"Bianca kamu nggak usah berlebihan bisa nggak sih,? Aku punya kamu harusnya kamu percaya sama aku! Bukan malah percaya sama video yang nggak jelas siapa pengirimnya itu.!"
Bagaimana Bianca tidak percaya, itu jelas-jelas wajah Leon yang nampak tersenyum di depan mantannya.
***
Hari itu bengkel elektronik terasa lebih sibuk dari biasanya. Para teknisi sibuk dengan perangkat yang harus segera diselesaikan untuk pelanggan. Di tengah kesibukan itu, Bianca terlihat berbeda, ia menjadi lebih ceria. Setelah beberapa hari hanya diam dan merenung.
Bianca mulai menunjukkan tingkah yang tidak biasa di depan King. Ia sering mendekat tanpa alasan jelas, berbicara dengan nada yang lebih manja, dan bahkan sesekali mencoba melontarkan candaan yang menurut King tidak pada tempatnya.
"Kak King," panggil Bianca sambil bersandar di meja kerja King, wajahnya berseri-seri. "Kamu serius banget sih?"
King mendongak dari solder yang sedang ia pegang, memandang Bianca dengan tatapan datar. "lagi kerja, kalo nggak ada yang penting mending nggak usah panggil gue."
Bukannya pergi, Bianca malah tertawa kecil. "Kamu nggak keliatan nyeremin kak, nggak usah galak!"
King menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak langsung meledak. "Gue ggak punya waktu buat basa-basi."
Namun, peringatan itu sepertinya tidak mempan. Bianca tetap saja berusaha menarik perhatian King, dari pura-pura minta bantuan yang sebenarnya bisa ia selesaikan sendiri, hingga sengaja menjatuhkan alat untuk membuat King menoleh.
Puncaknya terjadi saat Bianca sengaja menyenggol lengan King saat ia sedang fokus menyolder sebuah perangkat. Tangan King tergetar sedikit, hampir membuat solder panas menyentuh papan sirkuit.
"BIANCA!!" Suara King naik.
Bianca terdiam, terkejut oleh nada tinggi King. Ia tidak pernah melihat King semarah ini.
"diem!" lanjut King dengan nada tegas. "Gue udah bilang, jangan ganggu gue. Gue lagi kerja, gue butuh duit. Sementara lo.? lo cuma anak magang yang taunya candaan mulu!"
"King, kenapa sih rame banget,?" Tanya Fira yang tiba-tiba masuk.
Bianca menunduk, menggigit bibirnya. "Kan cuma bercanda,"
"Gue nggak suka bercanda.!" Tegas King. "Besok gue nggak sudi di sini lagi." Kata King kemudian pergi.
"Ca lo kenapa sama King,?" Tanya Fira.
"Aku mau bercandain dia kak" kata Bianca.
"Lo berani banget sih,? King nggak pernah bercanda, yang lain aja nggak pernah candain dia" kata Fira memegang pundak Bianca.
Bianca mengangguk pelan, wajahnya kini dipenuhi rasa bersalah. Ia melangkah mundur, kembali ke mejanya tanpa berkata apa-apa lagi.
Di belakang King menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia bukan orang yang suka marah meskipun cenderung diam, tetapi tingkah Bianca sudah terlalu mengganggu. Ia tidak punya ruang untuk permainan kekanak-kanakan seperti itu.
Namun, saat ia membakar rokoknya, ada sesuatu yang aneh di hatinya. Rasa risih itu bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya mengapa tingkah Bianca memengaruhinya sedemikian rupa.
**
Hari sudah mulai gelap ketika Bianca menemukan King sedang duduk di bangku kayu di belakang bengkel, area yang biasanya sepi. Dengan raut wajah penuh rasa bersalah, Bianca melangkah mendekat. Ia tahu dirinya sudah melewati batas tadi siang. Awalnya, ia hanya ingin mencari cara untuk melupakan suasana hatinya yang buruk setelah bertengkar dengan Leon, tetapi tindakannya malah membuat semuanya semakin rumit.
King duduk bersandar dengan menghisap rokoknya, matanya menatap kosong ke arah langit senja. Bianca berdiri beberapa langkah darinya, merasa gugup namun memaksakan diri untuk berbicara.
"Kak" panggilnya pelan.
King menoleh, ekspresinya datar tanpa sedikit pun emosi.
Bianca menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku mau minta maaf kak"
King berdiri sebelum Bianca selesai bicara. Ia melangkah ke arah pintu untuk masuk ke dalam tanpa mengatakan apa-apa.
"Kak!" Bianca segera berlari dan berdiri di depan pintu, tangannya menahan gagang pintu agar King tidak bisa membukanya.
King berhenti, matanya menatap Bianca tajam. Memberi kesempatan untuk Bianca berbicara meskipun dalam hatinya ia sangat kesal.
"Maaf" kata Bianca lagi, King menghela nafas kesal.
"Stop gangguin gue, jangan jadiin gue pelampiasan lo." Kata King, wajah Bianca memucat, ia tak menyangka ternyata King tahu maksudnya.
"Gue nggak peduli, lo lagi kenapa sama pacar lo. Gue juga sama sekali nggak mau tau! Stop gangguin gue, gue sama sekali nggak tertarik buat masuk ke permainan kotor lo itu."
Mata Bianca mulai memerah, tapi ia tetap berdiri di tempatnya. "Aku nggak bermaksud jadiin kamu pelampiasan, kebetulan aja aku tiba-tiba suka sama kamu. Pas aku sama pacar aku lagi nggak baik-baik aja." Kata Bianca yang entah atas dasar apa dia mengatakan itu.
"Jangan lo pikir gue goblok ya, gue pernah se usia lo. Gue tau isi otak anak se usia lo."
"Minggir nggak?!!" Ancam King.
Bianca menyingkirkan tangannya dari gagang pintu, memandangi pintu yang kini tertutup setelah menelan King. Kata-kata King menyakitkan. "Gue keliatan banget lagi cari pelampiasan kah,?" Heran Bianca pada dirinya sendiri.
Sudah beberapa jam berlalu, suara jangkrik sudah mulai bersahut-sahutan di bawah langit gelap hari itu. Di balik jendela kamar yang lampunya masih menyala itu, Bianca meletakkan hairdryer nya setelah merasa rambutnya cukup kering. Ia beralih duduk ke tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela. Cahaya bulan menyelinap masuk, memantulkan bayangannya di kaca. Ia merasa Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang mengusik pikirannya sejak pertemuan terakhirnya dengan King.
Ia terbayang-bayang wajah King yang menyeramkan saat marah padanya. Ia juga merasa bersalah pada laki-laki itu. Awalnya, Bianca hanya ingin mencari pelampiasan. King hanyalah sebuah cara untuk mengalihkan rasa kecewanya terhadap Leon. Tapi sekarang, tatapan dingin King mulai menghantui pikirannya, membuatnya merasa lebih hidup daripada yang pernah ia rasakan bersama Leon.
Bianca menggelengkan kepalanya "Nggak boleh, Ca! Lo punya pacar.!" Bianca berkata pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hati yang mulai goyah. Leon mungkin menyebalkan dan hampir sering membuatnya kecewa, tapi dia adalah pacarnya, seseorang yang selama ini ia beri tempat di hati.
Sudah hampir 2 tahun ia menyimpan Leon di hatinya. Ia seharusnya merasa senang karena sudah kembali mendapatkan Leon. Namun, entah bagaimana bayangan tentang King kini mulai mengusiknya. Tatapan dinginnya, ketenangannya yang memikat, dan cara dia marah pada Bianca seperti ada sesuatu yang berharga, semua itu membuatnya merasa bersalah sekaligus terperangkap.
"Capek,,," Bianca mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Mungkin rasa bersalah aja kali ya, bukan berarti gue suka sama King beneran."
Hati kecilnya tahu itu lebih dari sekadar kebingungan. Ada sesuatu yang mengakar dalam perasaan ini, sesuatu yang bahkan Bianca sendiri takut untuk mengakui.
Dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menghubungi Leon, berharap mendengar suaranya akan membawa Bianca kembali ke kenyataan bahwa Leon lah kekasihnya. Tetapi tidak ada jawaban. Bianca menatap ponselnya dengan frustrasi, ternyata Leon kini masih mengabaikannya.
"Kan dia yang salah, harusnya nggak marah balik. Apasih,?" Heran Bianca
Di tengah kebingungannya, perasaan bersalah mulai menggerogoti hati Bianca. Dia merasa telah mengkhianati Leon.
Tbc...

KAMU SEDANG MEMBACA
Leon King (18+)
Teen Fiction⚠️1821+ ⚠️ Mengandung unsur dewasa dan bahasa kasar About what? About Bianca, Leon and King... Bocil Minggir! Ini cerita ngabrutt orang dewasa