Chapter 13

14.1K 935 7
                                    

Aku berlari. Memasuki hutan  yang kini sedikit bersinar bagaikan cristal oleh cahaya matahari yang mencuat di sela-sela pepohonan. Lantai tempat aku berlari pun penuh dengan salju. Begitu suci. Begitu putih. Berada di tempat ini seperti berada di dalam negeri dongeng.

Lelah, aku berhenti. Tepatnya aku tidak tahu posisiku. Sejak dulu sering kali aku menjelajah hutan yang ada di dekat rumahku yang tentu saja bukan keputusan yang tepat. Karena sering kali aku tersesat.

Pernah suatu waktu ketika aku berusia 15 tahun, aku menjelajah hutan sendirian. Saat itu musim panas. Dan aku sangat menyukai suasana hutan di musim panas. Begitu hijau. Begitu rimbun, dan tenang. Memberi aku rasa damai yang tidak kudapati di rumah saat itu.

Aku hanya bermain di dalam hutan. Anehnya aku selalu saja menemukan tempat dimana kami sekeluarga piknik. Sebuah padang bunga liar dan satu pohon yang sangat besar.

Aku tidak pernah tahu jalan kembali. Karena itu sering kali aku hanya berkeliaran mencari jalan kembali yang Tanpa sadar semakin membuatku tersesat jauh di dalamnya. Sampai matahari terbenam aku masih belum dapat menemukan jalannya. Saat itu kupikir aku akan menyerah. Lalu aku mendengar suara ibuku memanggil nama ku dengan putus asa. Saat itu kupikir mungkin dia memang tidak melupakanku.

Setelah kejadian itu. ibuku melarang ku memasuki hutan. Dan dia sedikit lebih baik padaku. Lebih perhatian. Sayangnya itu hanya bertahan selama beberapa bulan. Karena segera seteah itu ia mulai memaksaku berlatih Cello selama dua puluh empat jam. Tanpa istarahat.

Aku memandagi sekelilingku.  Aku telah sampai di padang bunga liar. Yang kini telah dipenuhi salju. tidak tada anda-tanda kehidupan. Membeku dan mati. Bahkan tidak ada seekor binatang pun. Hanya ada aku dengan tangisanku yang tidak juga berhenti.

Aku berteriak. Melepas segala amarahku. Melepas segala kesedihanku, berharap aku akan lebih tegar dari sekarang. Detik, menit, jam, berlalu. Aku masih tidak bergerak. Masih terduduk di tempat yang sama. Kedinginan. Kurasa aku sudah tidak dapat lagi merasakan jemariku. Ataupun berpikir jernih. Dan rasa lelah karena kurang tidur tidak meonolongku sama sekali.

Perlahan aku mulai mengantuk. Sangat ingin menutup mataku. Berharap aku mungkin tidak perlu terbangun lagi. berada dalam kedamaian ini. Dan mungkin saja menghilang bersama dinginnya udara.

Kupikir aku sudah cukup lelah untuk tetap terjaga. Dengan satu pikiran terakhir aku memutuskan untuk menutup mataku. Samar-samar aku mendengar gumaman. Seseorang memanggilku. Dengan nama yang sangat kubenci tetapi juga kurindukan. hanya satu orang yang melakukannya. "Reina, princess. Kumohon! Bertahanlah" pintanya dengan begitu pedih.

Setelah mengantar Reina kembali ke rumahnya, aku kembali ke hotel. Dengan perasaan gelisah dan kesal. Aku bertahan sekuat tenaga agar tidak berbalik ke tempat Reina dan membawanya dengan paksa bersamaku. Menahan monster yang ada dalam diriku yang haus akan dirinya.

Yeah. Aku bertahan. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Hingga akhirnya aku kehilangan kesabaranku dan segera saja aku berbalik kembali ke rumahnya. Sedikit menjaga jarak dari rumah Reina tapi cukup jelas melihatnya kalau-kalau dia keluar dari rumah.

Aku hampir saja jatuh tertidur ketika mendengar suara-suara teriakan dari dalam rumah Reina. Kupikir sesuatu terjadi padanya. Aku hampir saja mendobrak masuk. Aku menungggu, sampai akhirnya aku melihat Reina berhambur keluar dari dalam rumahnya hanya dengan memakai pakaian tipis. Blous putih one piece dan celana pendek. Dia Berlari dalam salju. Tanpa melihat ke arah mana dia menuju. Apa yang dipikirkannya?

Aku bergegas keluar dari mobil. Berlari di belakang nya. Cukup menjaga jarak darinya. Aku sungguh sangat khawatir melihat keadaannya saat ini. Dia tampak begitu lemah dan rapuh. Seperti terbuat dari gelas yang akan hancur berkeping-keping jika aku tidak hati-hati.

Lies & KissesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang