Chapter 19

12.6K 790 2
                                    

Aku terbangun dengan semilir angin yang berhembus dari pintu balkon yang terbuka. Samar-samar aku mencium bau kopi yang menghilangkan rasa kantukku seketika. Kemudian, pintu kamar terbuka. Cain bersandar di pintu tersenyum padaku.

"selamat siang, Princess" sapanya.

Siang? Aku tahu, aku bukan orang yang mudah bangun di pagi hari. Selambat-lambatnya aku terbangun, tidak pernah sampai siang hari.

"jam berapa sekarang?" tanya ku seraya turun dari tempat tidur.

"12. Aku sudah menyiapkan makanan untuk mu" katanya berjalan mendekatiku.

"dan secangkir kopi?"

"dan secangkir kopi" jawabnya, lalu memelukku. Kami tetap dalam posisi itu, selama beberapa menit.

"aku harus mandi" kataku melepas pelukan.

Cain memandangiku seolah aku harta karunnya yang paling berharga. Di matanya aku dapat melihat betapa dia mencintaiku. Meskipun aku belum pernah mendengar dia mengatakan nya. Hanya "kau milikku" yang sering kali di katakannya.

Cain mencium dahiku dengan lembut. Lalu mataku, dan kemudian kedua pipiku. Jika Reina yang dulu, Cain sudah pasti babak belur sekarang. Tapi, Reina yang sekarang? Aku hanya dapat menikmatinya. Perasaan cintanya yang membara itu seperti percikan api kehidupan bagiku.

"bersiap-siaplah. Aku akan menunggu di meja makan" ujarnya membelai pipiku.

"jangan habiskan kopiku" candaku beranjak ke kamar mandi.

"kalau begitu, jangan tidur di kamar mandi" balasnya tertawa.

setelah aku selesai mandi, dan memakai baju yang telah disiapkan Cain di atas tempat tidurku, aku menuju ke ruang makan. Kemudian aku mendengar suara Cain berteriak dan jelas sekali sedang menahan amarahnya.

"lakukan apapun yang kau bisa, Lucas! Jangan biarkan anggota D'artagnan mendekati Reina" teriak Cain.

"aku tak peduli! Aku tidak akan membiarkan dia merebut Reina dariku" sambungnya lalu menutup telpon dengan frustasi.

"apa keluarga D'artagnan sudah bergerak?" tanyaku tiba-tiba mengejutkan Cain yang sedang membelakangiku.

"jangan khawatatirkan mereka! Lucas akan mengurus segalanya" jawabnya lalu membuka kedua tangannya. "kemarilah!"

Tanpa ragu, aku berjalan ke dalam pelukannya. Cain menempelkan bibirnya di leherku. Menyapunya dengan lembut. "kau wangi sekali" gumamnya.

"aku baru saja mandi, Cain! tentu saja aku wangi" kataku tertawa."sekarang bisakah kita makan? Aku sangat-sangat kelaparan!"

Cain terkekeh seraya mengeleng-gelengkan kepala. " untung saja aku memesan banyak makanan" ujarnya.

Kami makan tanpa berkata apapun. atau lebih tepatnya aku yang melahap hampir seluruh makanan di meja seperti orang yang kesetanan. Sehingga Cain tidak punya kesempatan untuk membuka percakapan denganku. Sedangkan dia hanya sesekali menyentuh makanannya. Dia hanya memandangiku seraya tertawa sendiri.

"kau tidak pernah makan selahap ini, saat dirumahku" kata Cain tiba-tiba.

"aku masih marah karena kau tidak mengijinkan aku berbicara dengan ibuku ataupun Freija" jawabku. Cain terdiam, pandangannya terlihat begitu jauh.

"maafkan aku. seharusnya aku tidak bersikap seperti itu. aku hanya takut kau akan meminta Freija membawamu pergi." Ujarnya dengan tulus. "karena aku,," kata Cain menggantungkan kalimatnya.

Lies & KissesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang