Chapter 17

12.4K 894 7
                                    

Aku bermaksud memandangi ayahku dengan bengis. Sebagai bentuk bahwa aku sangat marah padanya. Bahwa tidak mudah untuk mendapatkan maafku. Tetap saja, hal itu sangat sulit. Kini aku sadar, betapa aku sangat merindukannya selama ini. Perasaan rindu yang telah lama ku coba hilangkan ini seolah tumpah ruah saat ini. Berkali-kali aku mengeerjap-ngerjapkan mataku untuk menghentikan air mata yang siap tumpah.

" bagaimana keadaanmu?" tanya nya membuka suara.

"bagaimana yang terlihat di matamu?" jawabku ketus tidak peduli lagi bicara ku tidak sopan! Demi Tuhan Reina, dia ini Ayahmu!

"Reina! Jaga nada bicaramu" hardik ibuku.

"aku dapat mengerti kau marah padaku Reina. Kau harus tahu aku memiliki alasan yang kuat pergi dari hidupmu"

Suara ayahku sangat lembut namun aku dapat mendengar keretakan di dalamnya. Perasaan bersalah terlihat sangat jelas di matanya.

"jelaskan!" balasku tanpa emosi.

 "untuk menjauhkanmu dan ibumu dari bahaya" tangannya terangkat menghentikanku dari menyela. " ada orang-orang yang mengejar Ayah. Mereka akan melakukan apapun untuk membawa ayah pergi bersama mereka. Termasuk menyakiti kalian." Sambungnya.

"siapa mereka?" tanyaku. "siapa ayah sebenarnya?"

Lagi-lagi aku mulai kesal. Saat ini sangat mudah bagiku untuk marah. Dan sikap ayahku yang mengulur-ngulur penjelasannya semakin membuat darahku mendidih. Ayah dan ibu ku saling berpandangan. Ibuku mengangguk pelan memberi tanda untuk melanjutkan. Tangan mereka saling bertautan. Ibuku memegangnya dengan posesif.

Sekilas aku melihat Freija di meja di sampingku. Tersenyum menyakinkanku bahwa dia bersamaku. Aku mengangguk pelan padanya. kami dapat saling mengerti tanpa kata-kata.

Apapun penjelasan ayahku, aku harus siap menghadapinya. Berharap aku tidak melayangkan tinju untuk kedua kalinya. Sikapku ini ketika aku sedang sangat emosi cenderung mengerikan. Aku seperti berubah menjadi lebih perkasa. Kurasa dulu ibuku menginginkan seorang putra alih-alih putri. Karena itu, aku lebih suka berlatih takewondo daripada Cello.

"Ayah akan menceritanya dari awal" lanjutnya. " ayah kehilangan kedua orang tua ayah ketika usia ayah masih sangat muda. Berkali-kali ayah berpindah-pindah panti asuhan, dan rumah penampungan, karena ayah memberontak. Pada suatu ketika, ayah tidak sanggup lagi bertahan dan ayah melarikan diri di usia yang ke 12. Selama 2 tahun ayah hidup di jalanan hingga ayah bertemu dengan Gabe D'Artagnan. Lalu dia mengangkat ayah sebagai anaknya."

Mendengar kisah ayahku yang ternyata sangat menyedihkan menghilangkan seluruh kemarahan yang ada padaku. Segala perasaan terluka yang pernah kurasakan kini aku sudah tidak membutuhkannya lagi. seakan beban berat yang selalu menghimpit dadaku kini telah terangkat.

Saat ini aku sangat ingin menangis. Untuk ayahku. Untuk ibuku. Untuk kesedihanku sendiri. Dan untuk Cain. tapi, aku menahannya sekuat mungkin. Aku tidak ingin meneteskan air mata saat ini. Tidak sekarang. Belum saatnya. Aku membutuhkan Cain!

"Gabe adalah sosok ayah yang sempurna. ayah rela melakukan apapun yang diminta olehnya. Mengerjakan apapaun yang diperintahkannya. Tidak pernah sekalipun ayah membangkang padanya hingga ayah bertemu dengan ibumu dan jatuh cinta padanya." kata ayahku seraya meremas tangan ibuku. "Gabe tidak mengijinkan Ayah menikahi ibumu. Dia tidak ingin ayah meninggalkan keluarga D'artagnan. Saat itu, ayah sangat menggilai ibumu. Ayah tidak peduli dengan konsekuensi yang akan hanya hadapi kedepannya. Karena ayah memilih melarikan diri bersama dengan ibumu. Bertahun-tahun ayah berhasil menjaga jarak dan bersembunyi dari kejaran mereka. Hingga pada suatu hari mereka menemukan ayah.

"karena itu kah kita selalu hidup tanpa menraik perhatian orang? Tidak bersosialisasi?"

"mereka sangat keras kepala. Gabe ingin ayah kembali ke sisinya. Dia tidak segan-segan menyakiti kau dan ibumu" katanya dengan sedih.

Lies & KissesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang