Menjelang malam, Hana masih berada di rumah Evan. Wanita itu merasa nyaman di rumah teman belajarnya tersebut. Dia bahkan sampai lupa waktu saat tengah membantu Sari bersih-bersih.
"Makasih ya, Nak," ucap Sari pada Hana.
Hana tersenyum, "Iya, Bu. Sama-sama. Lagian Ibu pasti capek kan, sekarang Ibu istirahat aja. Biar saja yang lanjutin bersih-bersihnya."
Sari menggeleng pelan, "Enggak, Nak. Kasian kamu kalau ngerjain sendirian."
"Nggak papa kok, Bu. Saya bisa, Ibu istirahat aja."
Sari tersenyum kecil sembari mengelus lengan atas Hana, "Makasih ya, Nak. Kalau kamu capek. Istirahat aja, jangan dipaksain."
"Iya, Bu."
Sari kemudian pergi menuju kamarnya dan Hana melanjutkan untuk bersih-bersih. Tidak banyak yang perlu dia lakukan, dia hanya perlu memasukan sampah ke dalam kantung plastik dan menaruhnya di luar.
Kini hanya tinggal dia sendiri, Evan dan kedua adiknya sudah tertidur sejak pulang dari pemakaman dan sekarang, Sari, Ibu Evan juga beristirahat.
Rumah kecil itu terasa begitu kosong sekarang. Namun, tetap terasa nyaman dan menarik di mata Hana. Jika dibandingkan dengan rumahnya. Pasti Hana lebih memilih rumah tersebut. Walau kecil, tetapi begitu hangat.
Tanpa Hana sadari, Evan sudah keluar dari kamarnya. Pria itu keluar dengan wajah bengkaknya dan rambut yang biasanya rapi itu pun berantakan.
"Han," panggil Evan dari belakang tubuh Hana.
Hana menoleh dan tertawa kecil saat melihat penampilan Evan. "Lo kok kaya orang gila sih," ledek Hana.
Evan memutar bola matanya dengan malas setelah mendengar ucapan Hana, wanita itu kemudian mendekat ke arah Evan dan memeluk pria itu dari samping. Sepertinya hal itu akan sering dia lakukan pada Evan.
"Ngambek ya lo?" tanya Hana sembari tersenyum menggoda Evan.
Evan menggeleng pelan. "Enggak tuh," sanggah pria tersebut.
"Ya udah kalau gitu."
Hana ingin beranjak dan melepas pelukannya. Namun, Evan malah menahan wanita tersebut dan memeluknya dengan erat.
"Gue suka kalo lo peluk gini," jelas Evan yang berhasil membuat Hana tersipu.
"Lo mau kan jadi pacar gue?" tanya Evan dengan tiba-tiba.
Hana kemudian mendorong tubuh Evan dengan cukup kencang sehingga dia dan teman belajarnya itu memiliki jarak yang cukup jauh.
"Lo nggak mau?" tanya Evan dengan dahi mengkerut.
"Bukannya nggak mau, tapi ... ."
"Lo malu karena gue miskin?" potong Evan. Sepertinya pria itu tengah dalam kondisi yang kurang baik sehingga emosinya gampang meledak.
Hana segera mendekat ke arah Evan dan menarik lengan pria itu. "Bukan gitu, Van."
Evan melepas genggaman Hana dengan kasar, "Terus, kenapa?"
Hana menundukkan kepalanya, "Gue ngerasa nggak pantas buat lo."
Evan kebingungan dengan penjelasan Hana. Pria itu kemudian menangkat wajah Hana agar dapat dia lihat. "Nggak pantas gimana maksud lo?"
Sebelum menjawab, Hana menarik nafas yang cukup panjang. Dia merasa bahwa paru-parunya perlu diisi dengan banyak oksigen.
Hana berjalan mendekat ke arah Evan, wanita itu kemudian menggengam tangan Evan dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Benefit (END)
Teen FictionKehidupan yang amat berbeda antara Evan dan Hana tentu membuat keduanya seperti langit dan bumi. Pertemuan singkat mereka di depan gerbang berhasil membuat keduanya terlibat perjanjian yang saling menguntungkan. Namun, karena sikap yang berbeda di a...