Keterkejutan Hana berhasil membuat Evan sadar bahwa wanita di ambang pintu rumahnya adalah ibu dari pacarnya. Pria itu tentu tau bahwa Hana hanya tinggal bersama ibunya setelah Ibu dan Ayahnya bercerai.
Evan berdiri dari duduknya dan menuju wanita paruh bayah itu, "silakan masuk, Bu," ajak pria itu dengan ramah.
Di rumah Evan hanya ada satu sofa yang bisa di duduki oleh tiga orang dan sisanya mau tak mau harus duduk di bawah. Duduk di atas lantai lebih tepatnya.
Kini, Sari, ibu Evan dan Maya, ibu Hana tengah duduk berdampingan di atas sofa. Evan, Hana dan kedua adik Evan hanya memperhatikan dari bawah.
"Itu Ibu lo?" bisik Evan memastikan setelah menyikut lengan Hana yang duduk tepat di sampingnya.
Hana mengangguk pelan. Namun, matanya menatap tajam ke arah sang ibu. "Mata lo bisa biasa aja nggak sih," tegur Evan karena dia merasa Hana terlihat begitu tidak sopan pada ibunya.
Maya tersenyum ke arah Sari sebelum membuka pembicaraan, "Maaf, Mbak. Saya mau jemput Hana."
Ucapan singkat dan padat dari mulut Maya itu mengundang kemarahan besar dari Hana, wanita itu tiba-tiba saja berdiri dan Evan langsung ikut pula berdiri. Pria itu menahan Hana untuk mendekati ibunya karena dia takut Hana akan berbuat yang tidak-tidak.
"Saya nggak mau, lebih baik anda pergi sekarang!" tegas Hana dengan wajah memerah karena amarah.
"Han, lo kenapa sih?" tanya Evan sembari berusaha membuat pacarnya itu kembali duduk.
"Gue nggak mau balik sama dia!" ucap Hana dengan telunjuk mengarah ke ibunya.
"Han! Yang sopan dong!"
Suara Evan terdengar sangat mengerikan dan hal itu berhasil membuat Hana terdiam, "ayo kita ke kamar dulu," ajak Evan yang langsung menarik paksa Hana untuk mengikutinya.
Di dalam kamar, keduanya kemudian duduk di atas kasur. Evan berencana untuk menurunkan emosi yang ada di benak Hana saat ini.
Dia kemudian menahan kepala Hana dengan kedua tangannya tetapi pacarnya itu tidak mau menatap matanya. Kini, mata Hana terlihat memerah karena menahan tangisnya. Hal itu berhasil membuat Evan ikut merasa sedih.
"Lo kenapa sih? Coba cerita ke gue," ucap Evan dengan nada rendah.
Hana tidak berani untuk menatap balik pacarnya itu dan akhirnya membuat Evan menyerah. Pria itu kemudian melepaskan genggamannya di kepala Hana dan ikut terdiam bersama pacarnya itu.
"Gue nggak tau, masalah lo sama Ibu lo apa. Gue juga nggak berhak komentarin apapun. Tapi... Gue mau lo hargain ibu lo," jelas Evan yang langsung membuat Hana menatap ke arahnya.
"Han, gue juga cuman punya ibu sekarang. Kita sama kan."
Evan tersenyum diakhir ucapannya. Hal itu membuat Hana tiba-tiba saja mengeluarkan air matanya.
Evan kemudian menarik tubuh Hana untuk masuk ke dalam pelukannya, "kalo lo mau nangis silakan, gue siap kok nemenin lo sampai lo ngerasa baikkan."
Di sela tangisan Hana, Evan menerawang ke atas langit-langit kamarnya, "Han, lo itu anak satu-satunya bukan sih? Kalo bener kenapa lo bertindak begitu ke ibu lo? Lo pernah mikir nggak gimana perasaan beliau?"
Evan kemudian melepaskan pelukannya pada Hana dan menghapus dengan lembut air mata di pipi pacarnya itu dengan ibu jarinya, "gue tau kok, lo ada masalah sama ibu lo. Tapi, lo harus tau kalo lo sedih. Ibu lo bakal lebih sedih."
"Inget ya, cuman lo satu-satunya orang yang dimiliki ibu lo," lanjut Evan.
"Tapi, Van... Dia udah selingkuh dan itu yang ngebuat orang tua gue cerai," sanggah Hana dengan cepat. "Kalau bukan gara-gara itu, gue bakal bareng Ayah gue terus. Gue juga bisa dapetin kasih sayang dari dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Benefit (END)
Teen FictionKehidupan yang amat berbeda antara Evan dan Hana tentu membuat keduanya seperti langit dan bumi. Pertemuan singkat mereka di depan gerbang berhasil membuat keduanya terlibat perjanjian yang saling menguntungkan. Namun, karena sikap yang berbeda di a...