Dawai menarik napas ke sekian kalinya. Harusnya, dia sudah berada dalam perjalanan menuju bandara, menjemput Rega yang katanya tidak akan pulang sebelum Dawai datang. Namun, ada Saga juga di sana. Rasanya, Dawai tidak siap bertemu pria itu, setelah kesalahan terakhir yang dia lakukan. Pastinya, sudah sampai ke telinga Saga. Saudaranya itu pasti akan semakin membencinya, si pembuat masalah.
Dawai duduk kembali di kasurnya, sungguh dibuat bingung. Kalau dia tidak pergi, Rega pasti menunggunya lebih lama, demikian pula dengan Saga. Dawai meremas kuat gaun yang dia kenakan, membaca sebuah pesan yang Saga kirimkan. Lagi, kata-kata menyakitkan membuatnya merasa disudutkan. Rega benar-benar menunggunya.
Dawai melempar asal ponselnya, tidak menerima panggilan dari Rega. Gadis itu memutuskan untuk tidak pergi, menelungkupkan wajahnya dengan bantal, berharap dia punya alasan untuk menghilang satu hari saja.
Dawai lemah, memang itulah kenyataannya. Dia hanya dikuatkan oleh keadaan, sampai hatinya dibuat mati rasa. Kalau ada kata seandainya, begitu banyak hal yang ingin Dawai ubah, termasuk dirinya di masa lalu. Kalau saja, dulu dia memikirkan hatinya lebih dulu, semua akan baik-baik saja. Pribadi alternatif itu tidak akan pernah terbentuk, dan membawa masalah untuknya.
"Dek, buka pintunya," Ketukan dari luar membuat Dawai dengan malas beranjak dari posisi semula.
Alfy mengikuti langkah Dawai dari belakang, menarik saudarinya untuk duduk di sisinya.
"Masalahnya sudah beres. Mereka yang salah," ucap Alfy membuka pembicaraan. Saudara tertuanya itu mengelus rambut Dawai, prihatin dengan keadaan gadis itu. Kalau saja pribadi alternatif itu tidak muncul, entah hal apa yang terjadi pada Dawai.
"Jangan tatap Dawai gitu, Bang. Dawai gak suka," tukas Dawai memalingkan wajah. Tatapan prihatin dan penuh rasa cemas selalu menjadi kelemahannya, terutama dari keluarganya.
"Dia yang melindungi kamu, Wai. Orang-orang itu berandal yang hampir melecehkan kamu. Secara gak langsung, dia bermaksud baik, meski sering menempatkan kamu dalam masalah," tutur Alfy. Pria itu belum pernah bertemu langsung dengan sosok pelindung Dawai tersebut, hanya gadis keci itu yang sering muncul dan menguasai Dawai.
Setiap kali membuat masalah, pasti Dawai akan kembali ke dirinya semula, sehingga gadis itu tidak mengetahui apa yang sudah terjadi di sekelilingnya.
"Apa kalian menginginkan dia?" tanya Dawai menatap serius wajah saudaranya. Dia ingat perkataan Rega yang menginginkan kemunculan gadis kecil itu. Sekarang pun, Alfy malah membela si pembuat masalah, dengan alibi pelindung yang sudah menjaganya saat dalam bahaya.
"Wai, bukan itu yang Abang maksud," jelas Alfy tidak ingin Dawai merasa terasingkan.
Dawai tersenyum kecut. Dia memang sejak awal tidak diinginkan kehadirannya.
"Harusnya Dawai menciptakan alternatif yang lain lagi, yang sesuai dengan keinginan kalian semua," sahut Dawai begitu kecewa dengan takdir hidupnya.
"Hei, lihat Abang coba," pinta Alfy, Dawai menggeleng dengan keras, tidak sanggup menahan sesak di dadanya.
"Harusnya Dawai tidur lebih lama, iya 'kan? Buktinya Mama senang kalau gadis kecil itu muncul, Abang senang kalau alternatif pelindung itu muncul. Hah, harusnya Dawai memang gak pernah terlahir, biar gak jadi beban kalian," lontar Dawai mengutarakan unek-uneknya. Pada kenyataannya, dia tidak semanis gadis kecil itu dan tidak seberani sosok yang selalu menjaganya secara tidak langsung.
Di luar Dawai terlihat lebih baik, nyatanya hati dan pikirannya selalu berperang.
"Wai, kamu bicara apa, hah?" Alfy tanpa sadar menaikkan nada suaranya, cenderung membentak Dawai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Snow White - SELESAI
Teen Fiction"Shit, first kiss gue," protesnya menyentuh bibir salemnya. "Akhirnya bangun juga," Carion berucap lega. Berbeda dengan Rega yang masih menatap gadis itu tanpa ekspresi, Dawai justru sudah hampir meledak. Setelah dibuat pingsan sama bola yang pria...