Dawai pernah menunggu satu hari bahagia akan datang, dan bersama Rega, dia bisa mewujudkannya. Sampai malam tiba, Dawai belum bisa melepas hari ini, berharap waktu berjalan lebih lambat. Apa dia mulai memiliki rasa pada Rega? Entahlah, sampai Rega mengantarnya pulang pun, Dawai masih membeku, belum berani membalas tatapan Rega padanya.
"Kalau lo gak kasih izin, gue gak akan berangkat kok," Rega mulai membuka pembicaraan, membuat Dawai menghentikan aktivitasnya untuk keluar dari mobil. Satu hari penuh makna akan berakhir di depan rumah keluarga Allegra.
"Berhenti bersikap seolah gue adalah penentu hidup lo, Ga. Kalau memang ingin pergi, lakukan saja, lagi pula ini mimpi lo dan..Saga," sahut Dawai.
Ke mana mereka akan pergi? Dawai juga baru mengetahui kalau Rega dan Saga menjadi perwakilan untuk basket tingkat nasional. Harusnya Dawai senang, bukan? Namun, entah mengapa, dia merasa berat melepas Rega pergi, saat pria itu telah berhasil membuatnya menemukan kelegaan yang selama ini dia butuhkan.
"Hanya beberapa hari. Lo bisa memikirkan jawaban untuk pertanyaan gue. Wai.." Rega menarik lembut wajah Dawai agar menghadapnya.
Wajah Dawai mengingatkannya pada seseorang.
"Kenapa gue berharap itu dia?" gumam Rega, Dawai mengerutkan keningnya.
"Sebenarnya apa yang sedang lo pikirkan, Ga? Siapa yang sebenarnya lo inginkan? Gue sebagai Dawai atau.." Dawai meremas gaun yang dia kenakan, kenapa merasa sakit? Bagaimana mungkin Rega malah jatuh hati pada gadis kecil itu?
Rega mengulas senyum tulus.
"Lo dan semua yang ada di lo," sahutnya melegakan hati Dawai yang sempat terasa berat. Gadis itu menghela napas, meraup udara sebanyak-banyaknya.
"Lo bisa menerima mereka? Bahkan jika kelak, lo bertemu sosok yang lebih menyebalkan dari gue? Lo akan tetap sayang gue sebagai Dawai? Atau bahkan.." Tidak ada ocehan lagi. Rega selalu berhasil membuat Dawai membeku, dengan jantung yang bekerja lebih cepat. Ke sekian kalinya, Rega yang merasakan manis bibir salem si putri teater.
Dawai mendorong dada Rega menjauh darinya. Sungguh, dia benar-benar gugup, memutuskan untuk segera turun dari mobil, sebelum Rega melihat rona merah di wajahnya.
"Wai, tunggu dulu," Rega menangkap lengan Dawai dengan cepat.
"Maaf," gumamnya dengan tulus.
"Kenapa sih?"
"Bibir lo manis soalnya, bikin gue ketagihan," sahut Rega dengan santai. Dawai tidak terima, menyikut perut pria itu sampai mengaduh kesakitan. Hanya sesaat sebelum Rega tertawa, merasa lebih nyaman dengan ekspresi kesal Dawai.
"Jadi?" Dawai menautkan alisnya.
"Ya udah, lagi pula gue butuh waktu. Pergilah dengan membawa pulang nama baik sekolah," sahut Dawai setelah mencerna dengan baik maksud Rega. Sebenarnya Dawai belum memiliki hak, tetapi jika Rega menganggap izin darinya begitu penting, maka Dawai hanya bisa berdoa yang terbaik untuk pria itu.
Rega mengacak rambut yang membuatnya tertarik, pertama bertemu Dawai, tentu selain bibir salem, yang membuatnya hanya terfokus pada Dawai.
"Gue tunggu jawabannya di bandara, tiga hari lagi. Kalau lo datang, artinya lo menjawab iya, dan sebaliknya," jelas Rega, hanya fokus pada dua mata bulat Dawai. Kenapa rasanya menjadi berat meninggalkan Dawai?
"Kalau gue belum bisa, apa lo akan menunggu gue lebih dari itu?"
"Gue gak akan pulang, sebelum lo yang menjemput gue di bandara," sahut Rega begitu yakin kalau Dawai akan menerimanya. Gadis di hadapannya terlihat berpikir keras. Rega mulai mengerti, kalau Dawai tidak semudah itu menerima orang baru, apalagi dengan kondisinya yang tidak biasa.
"Oke, akan gue pikirkan dengan baik. Hati-hati selama di sana, jangan nakal, apalagi melirik cewek lain," peringat Dawai, dengan ekspresi yang begitu menggemaskan. Seperti seorang anak yang merengek agar orang tuanya menuruti keinginannya.
Rega mengangguk, terakhir sebelum berpamitan, Rega mengelus pipi Dawai.
Malam itu semua orang menjadi aneh bagi Dawai, sama halnya dengan sosok yang tengah mengamatinya di depan pintu. Lyre tersenyum, menyambut Dawai.
"Lo udah lama di sini? Kenapa gak masuk aja?" bingung Dawai.
Lyre menghampirinya, sepertinya sahabatnya itu sudah menyaksikan semua interaksinya bersama Rega, bahkan saat Rega mengutarakan permintaannya juga, mungkin.
"Apa lo bahagia, Princess?" tanya Lyre, membuat Dawai semakin tidak mengerti.
"Lo gak apa 'kan, Ly? Atau lo lagi ada masalah? Kenapa gak menghubungi gue aja tadi? Biar gue pulang,"
"Gue gak mau mengganggu lo, juga bahagia lo yang langka, Wai," sahut Lyre begitu cepat, seolah sudah mengetahui kalau Rega akan berhasil memiliki Dawai seutuhnya.
"Ya udah, ayo cerita, lo ada masalah apa?" Dawai menarik tangan Lyre untuk duduk di ruang tamu saja, agar lebih nyaman.
"Ternyata benar, sekeras apa pun gue berusaha, takdir kurcaci tetap untuk menemani tuan putri bertemu pangeran, bukan dan tidak akan pernah menjadi takdir hidup tuan putri sendiri," tutur Lyre.
Dawai merasa ada yang janggal.
"Kenapa lo merasa menjadi kurcaci? Bukannya setiap peran, lo selalu jadi pangeran?" tanya Dawai dengan polosnya. Dia berpikir yang Lyre maksud adalah peran yang akan mereka ambil untuk seni teater.
Berbeda dengan Lyre yang malah tersenyum kecut. Itu bukan cerita teater, melainkan kisah mereka sendiri. Saat sosok alternatif itu muncul, Lyre sendiri yang menawarkan diri untuk menjadi kurcaci, untuk membantu putri snow white bertemu dengan pangeran pelepas kutukan. Namun, Lyre seolah baru menyadarinya, dia membuat janji saat memiliki rasa dan harapan pada sahabatnya sendiri.
"Gue pernah berjanji pada dia," sahut Lyre.
"Kalian kenapa sebenarnya? Apa aja yang udah dia lakukan selama gue digantikan? Ayo ceritakan sama gue, Ly," pinta Dawai mengayunkan tangan Lyre.
Pria itu menghela napas pelan.
"Dia gak aneh-aneh kok, Wai. Justru dia membuat semua orang semakin sayang sama lo," jelas Lyre tidak ingin Dawai berpikiran negatif tentang alternatifnya itu.
"Terus, kenapa lo jadi aneh gini? Tiba-tiba membahas kurcaci?"
Lyre masih ingat perkataan Rega soal persahabatan pria dan wanita yang tidak mungkin tanpa perasaan. Rega benar, entah sejak kapan rasa sayang sebagai sahabat itu mulai berubah. Lyre ingin melihat Dawai selalu tersenyum, memastikan gadis itu tidak terluka sedikit pun. Sampai Lyre rela dihukum demi melindungi Dawai.
"Gue sayang lo, Wai dan gue baru menyadarinya," ungkap Lyre.
"Gue juga sayang sama lo kali, Ly. Tanpa lo kasih tau juga, gue bisa paham dari cara lo melindungi gue selama ini," sahut Dawai.
"Gue terlambat menyadarinya, Wai,"
Tatapan keduanya bertemu, mata bulat penuh sinar yang berhasil menghipnotis Lyre di detik itu juga.
"Lo gak akan berubah 'kan, Ly? Lo gak akan meninggalkan gue, meski udah lihat sisi gue yang lain, 'kan?" Raut cemas terlihat mendominasi di wajah Dawai.
"Lo takut kehilangan gue?" Apa Lyre boleh berharap.
Dawai tersenyum "Ya iyalah, lo sahabat gue, Ly. Gue...ya, anggap aja ini egois, tapi gue benar-benar gak mau kehilangan orang yang gue sayang. Gue terlalu takut untuk mengalami itu lagi," sahut Dawai dengan suara pelan.
Lyre mengerti makna di balik perkataan Dawai. Dia adalah salah satu saksi di setiap rasa sakit Dawai.
"Gue mengerti,"
Lyre memutuskan untuk menyerah. Dia tidak boleh egois, memaksa agar Dawai membalas rasa yang dia miliki.
"Ya udah, istirahat gih. Gue hanya memastikan kalau Rega memulangkan lo dengan aman, setelah dipinjam seharian," ucap Lyre mencairkan suasana.
Pria itu akhirnyaberpamitan, membawa rasa yang belum sempat terungkap. Begini harusnya lebihbaik 'kan? Biarkan saja Dawai tetap berpikir kalau tidak ada rasa di antara mereka,selain rasa sayang sebagai sahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Snow White - SELESAI
Novela Juvenil"Shit, first kiss gue," protesnya menyentuh bibir salemnya. "Akhirnya bangun juga," Carion berucap lega. Berbeda dengan Rega yang masih menatap gadis itu tanpa ekspresi, Dawai justru sudah hampir meledak. Setelah dibuat pingsan sama bola yang pria...