📖Pernyataan📖

26 2 0
                                    

Rega benar, kebahagiaan itu tercipta dari pikiran. Sekian tahun berlalu, Dawai hanya tertawa sebagai pelampiasan, menangis sebagai bentuk penyempurnaan karakter, dan memainkan peran dalam teater untuk membentuk banyak karakter, agar tidak seorang pun memahami dirinya. Dia hanyalah gadis penuh kebohongan yang membenci dirinya sendiri, benci saat semua orang malah berusaha menumpahkan kasih sayang padanya.

Dawai merasakan kedamaian yang sesungguhnya di tempat tersebut. Sesungguhnya, Dawai tidak mengerti, mengapa Rega melakukan segalanya, bahkan sampai menyewa satu pulau hanya untuk membahagiakan dia.

"Dulu, gue pernah menjanjikan sebuah pulau pada seseorang. Waktu itu gue baru berusia 9 tahun, gak tau kalau untuk menyewa pulau perlu usaha lebih," urai Rega. Dia menatap hamparan laut di depannya, mengabaikan gadis yang kini memperhatikannya.

"Tapi lo selalu berhasil melakukan segala keinginan lo," sahut Dawai, cukup iri dengan kehidupan Rega yang terlihat lebih baik darinya.

Rega tertawa kecil, membuat Dawai mendengkus.

"Itu karena gue mencintai diri sendiri. kalau gue bahkan membenci diri gue, lalu siapa yang bisa membuat gue bahagia? Bahagia itu dari diri sendiri. lo mungkin bisa mendapatkannya dari orang lain. Namun, rasanya akan berbeda kalau lo yang mencari bahagia itu sendiri," tutur Rega, membalas tatapan Dawai. Dia melepas kacamata hitamnya, menarik sebelah sudut bibirnya, seolah mempertegas kalau dia begitu mengagumkan.

"Kalau saja semudah itu," Dawai memutus kontak mata mereka, menghadap semesta dengan segenap keindahannya akan lebih baik.

"Ayolah, jangan dijadikan beban, Wai. Kalau marah, lo berhak teriak kok, lepaskan semua kemarahan lo, gak akan ada yang protes sama suara lo. Kalau mau nangis, lo boleh masuk ke dalam laut dan menyatu, tanpa perlu memperlihatkan pada orang kalau lo lagi kacau,"

Rega itu petinju, dia juga pemain basket yang terkenal dengan kemampuannya, dan sekarang, pria itu menjadi bijak di hadapan Dawai.

"Gue pernah mendengar itu dari gadis kecil. Gak salah dong, kalau gue bagikan ke lo juga," sambung Rega, Dawai memutar bola matanya. Baru juga hendak melontarkan pujian atas kebijakannya.

Rega tersenyum tipis.

"Aaaaaaaaaa, gue benci dunia. Gue benci semua orang yang buat gue benci hidup gue sendiri! gue benci semua orang yang membebani pikiran gue!" Rega memulainya, meneriakkan isi hatinya lebih dulu.

Pria itu kini memberi isyarat agar Dawai melakukannya juga. Dawai menurut, melangkah lebih dekat ke tepi laut, menutup mata sejenak.

"Gue cuman mau hidup damai! Gue cuman mau mencintai diri gue lagiiii!" teriak Dawai membebaskan isi hatinya. Rega terkejut saat gadis itu langsung melompat ke laut yang tidak terlalu dalam, setelah meneriakkan isi hatinya.

Rega melihatnya, Dawai menangis sendirian, bersama laut yang membawa pergi setiap tetes air mata gadis itu, membawanya menjauh bersamaan dengan luka yang Rega harap akan sembuh.

"Udah lega?" tanyanya saat Dawai kembali, usai menghabiskan cukup banyak waktu di laut. Rega memberikan handuk dan pakaian ganti untuk gadis itu.

"Setelah makan, kita akan ke perpustakaan, tempat terakhir untuk hari ini," lontar Rega masuk lebih dulu ke dalam rumah yang mereka sewa. Padahal mereka hanya menghabiskan beberapa jam di sana. Namun, Rega rela membayar mahal bukan hanya untuk satu pulau, tetapi juga sebuah rumah singgah di sana.

"Kok lo bisa punya ini semua sih? Gue jadi ingat film twilight," gumam Dawai, menatap hidangan di atas meja.

"Kalau lo bersedia jadi Bella, sih. Gue akan bawa lo honeymoon ke sini lagi," sahut Rega yang langsung mendapat tatapan setajam elang dari Dawai.

"Baru tau lo suka halu juga," lontar Dawai memperhatikan menu yang tersedia. Dia menikmatinya, sungguh. Rasanya bahkan sangat enak, sepertinya indra perasanya sudah kembali aktif.

"Masakan Bang Walton adalah yang terbaik, menurut orang-orang dan gue yang dulu begitu menyukainya. Namun, semakin ke sini, gue gak bisa merasakannya lagi, hambar," Dawai tersenyum kecil, mengingat pertama kali Walton memasak, dan begitu mengecewakan semua orang. Hanya Dawai kecil yang memberinya apresiasi, membuat Walton semangat lagi untuk meraih mimpi besarnya.

"Lo udah bisa senyum dengan tulus sekarang, berarti sudah lebih baik 'kan?" tanya Rega ternyata lebih fokus pada ekspresi Dawai.

"Hem, berkat lo. Satu jam penuh kedamaian di dalam laut. Hanya berharap, gue bisa lebih baik setelah ini," sahut Dawai. Dia menghela napas, mungkinkah dia harus kembali seperti dulu?

"Baguslah, gue turut senang,"

"Kenapa lo menginginkan gue?" Pertanyaan yang membuat tangan Rega berhenti di udara, tidak jadi memasukkan makanan ke mulutnya.

Cukup lama, dia hanya menatap Dawai yang tengah menunggu jawaban.

"Gue suka rambut hitam legam lo," sahutnya.

Spontan, Dawai menyentuh rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai dengan indah. Kenapa dia merasa pernah mendengar pujian itu?

"Hanya ini? Berarti kalau gue potong atau gue cat dengan warna lain, lo akan berhenti suka sama gue?" tanya Dawai bertubi-tubi, Rega tersenyum kecil, menggeleng kecil dengan pola pikir gadis itu.

"Lo yang bertanya apa yang gue suka, ya udah gue jawab. Kalau lo potong rambut atau mengubah penampilan lo, asal lo masih Dawai, mungkin gak masalah," jelas Rega mempertegas pernyataan, bahwa bukan hanya rambut, tetapi dia menyukai Dawai.

"Harusnya gue was-was gak sih sama lo? Kita di sini hanya berdua, bisa aja lo macam-macam sama gue, tanpa ada yang tau," Dawai mengalihkan pembicaraan, mulai menikmati makanan yang dihidangkan.

"Berdua? Jadi makanan ini? Terus pulangnya gimana?"

"Ah iya juga, kok gue jadi bego?" gumam Dawai merutuki diri sendiri. Bahkan momen saat Dawai tengah makan, tidak lepas dari kamera yang Rega bawa.

"Siap ke tempat terakhir untuk hari ini?"

Dawai mengangguk. Hari ini, akan menjadi bagian terindah yang dia miliki. Sepanjang perjalanan dia tidak berhenti mengulas senyum, ah momen terlangka yang lagi baru Rega temukan.

"Capek?" Dawai menggeleng. Dua tempat sebelumnya begitu indah, bagaimana dia mengeluhkan rasa lelahnya?

Dawai menikmatinya, setiap lembaran buku yang dia buka, setiap kata yang dia serap, rasanya menjadi penyembuh bagi jiwa yang sudah lama menahan rasa sakit.

"Gue mau buku ini deh," lontarnya menunjukkan sebuah buku penuh filosofi kehidupan.

"Lo memang butuh banyak buku seperti itu," sahut Rega, seketika suasana hati Dawai berubah.

"Eh itu apa?" Dawai mengambil kamera yang baru dia sadari dipegang oleh Rega.

"Ih, kok gak bilang mau ambil foto. Ini muka gue ada yang kabur, gak ada cantik-cantiknya ih," protes Dawai melihat hasil gambar yang Rega ambil, benar-benar kacau tanpa pengaturan sama sekali.

"Itu natural, Wai. Semua ekspresi lo ada di sana. Lo random tapi gue suka," sahut Rega dengan santainya. Rega semakin menyebalkan dengan kata-kata yang terus membuat Dawai merasa terbang jauh.

"Buat apa sih? Sampai diabadikan gini? Lo gak sakit 'kan? Atau mau meninggal? Makanya meminta momen satu hari sama gue?" tanya Dawai memicingkan matanya, Rega menggeleng, menyematkan anak rambut Dawai.

"Bukannya gue udah bilang kalau gue suka lo. Itu pernyataan dan sekarang pertanyaan, lo mau jadi bagian hidup gue?"

Dawai membisu. Apa secepat itu perasaan Rega berubah padanya?

"Jawab setelah gue pulang, ya," lanjut Rega.

Pulang? Jadi Rega akan pergi, meninggalkannya? Berapa lama? Pertanyaan yang sungguh berat hanya untuk sekedar terucap.

Bukan Snow White - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang