📖Kenangan Manis📖

29 3 0
                                    

Di antara kelam kisah yang Dawai miliki, gadis yang tengah menghadap alam bawah sadarnya itu juga memiliki kenangan manis. Ingat, dulu dia hanya gadis polos yang ceria. Dia dicintai karena memang pantas untuk itu.

"Uh, lutut Dawai sakit," gumamnya meringis, memegangi lututnya yang mulai mengeluarkan cairan kental. Dawai mengedarkan pandangannya, mencari saudaranya yang sudah pergi lebih dulu.

"Bang Al, Bang Saga, hiks," teriak Dawai kecil, berharap salah satu dari saudaranya akan datang membantu dia. Namun, nihil, Dawai sudah tertinggal terlalu jauh.

Dawai menyerah, tidak memiliki tenaga untuk berteriak lagi, hanya bisa berharap saudaranya akan segera sadar dan segera mencarinya. Gadis kecil berwajah polos itu menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kaki, memilih menunggu. Air matanya tidak berhenti mengalir, waktu terus berlalu, menambah ketakutan di hati Dawai.

"Ma, Abang tolong Dawai, hiks," lirihnya bersamaan dengan hujan yang mulai membasahi bumi. Dawai sendirian, dengan kaki terluka dan tenaga yang mulai habis. Dawai benar-benar lemah, sampai sepatu yang berhenti di depannya membuat gadis berusia sembilan tahun itu mengangkat wajahnya.

Wajah dingin seseorang menyambutnya dengan payung yang kini menaungi Dawai dari hujan yang semakin deras.

"Pangeran tampan," gumam Dawai tidak mengalihkan pandangannya dari anak laki-laki tersebut. Dia berdehem singkat, mulai memperhatikan sekeliling yang mulai gelap.

"Mau sampai kapan menatap begitu?" tegur anak laki-laki terebut, Dawai mengerjapkan matanya. Wajah anak laki-laki di depannya benar-benar nyaris mendekati kata sempurna, persis seperti karakter dalam dongeng yang sering Dawai baca.

Dawai yang masih diam, membuat anak tersebut hendak pergi, terlalu malas menunggu.

"Kaki aku sakit, boleh bantu aku pulang? Nanti, aku kasih imbalan deh, sesuai yang kamu minta," ucap Dawai setelah berpikir cukup lama. Dia tidak bisa terus berada di tempat tersebut, sementara hari semakin gelap, bisa berbahaya.

"Enggak," sahut anak tersebut hendak pergi begitu saja.

Dawai mengeraskan suara tangisannya, demi mendapatkan rasa prihatin dari anak laki-laki tersebut. Satu-satunya orang yang bisa menolong Dawai saat ini.

Langkah anak tersebut terhenti, mundur beberapa langkah, kemudian berjongkok di depan Dawai. Gadis kecil itu bergegas naik ke punggung lebar tersebut, merasa lega bisa pulang.

"Kamu pernah dengar cerita rapunzel?" tanya Dawai meletakan kepalanya di punggung anak laki-laki yang tidak dia ketahui namanya tersebut, merasa begitu nyaman dengan posisi itu, persis seperti saat digendong oleh saudara-saudaranya.

"Enggak, gak suka dongeng," sahutnya masih saja dingin. Ah, Dawai malah ingin jadi matahari sekarang, menyinari anak tersebut, agar lebih ceria.

"Jadi ada putri cantik namanya rapunzel, dia diculik sama seorang penyihir, supaya si penyihir tetap awet muda.." Dawai mulai bercerita tanpa peduli raut acuh dari anak laki-laki yang tengah menggendongnya.

Anak itu berdehem sekali-kali kala Dawai memintai pendapatnya. Cukup menyebalkan bagi dia yang tidak terlalu suka cerita semacam itu.

"Kamu tau tidak selamanya seorang putri akan bersama pangeran, terbukti dari cinta rapunzel dengan pria biasa yang menyelamatkannya. Cinta sehebat itu, bisa mengalahkan segalanya termasuk kasta dan perbedaan," Dawai semakin antusias bercerita.

"Kamu ingin seperti itu?" tanya laki-laki itu masih kaku. Dari penampilannya, sepertinya anak tersebut memiliki usia yang sama dengan Dawai atau mungkin lebih tua, hanya tubuhnya saja yang tinggi dan kekar.

"Hehe, awalnya iya. Dawai berharap seseorang itu bisa membawa Dawai keluar dari menara tinggi, membebaskan Dawai dari penyihir jahat yang berniat memanfaatkan Dawai," sahut Dawai masih dengan senyum cerianya.

"Terdengar menyedihkan," gumam laki-laki tersebut.

"Namun itu dulu, sekarang Dawai ingin hal berbeda," aku Dawai menilik wajah anak tersebut dari samping.

"Kamu gak penasaran?"

"Di mana rumahnya?" Bukannya menjawab anak itu malah menanyakan hal lain. Dawai cemberut, merasa terabaikan. Padahal hal yang ingin dia sampaikan malah lebih penting.

"Gak mau," sahutnya kesal.

"Oh, turun kalau gitu," ancam anak tersebut kali ini lebih tegas.

"Ih, jangan. Iya..iya, satu simpang lagi, nanti ada rumah seperti istana, nah, itu menara tempat tinggal aku," sahut Dawai dengan cepat, nadanya terdengar menyebalkan. Dawai juga tidak lagi menyandarkan kepalanya di punggung anak tersebut.

Dawai turun dengan hati-hati, lututnya masih terasa perih. Gadis kecil itu berusaha berjalan, meninggalkan si anak menyebalkan yang membuat suasana hatinya kacau.

"Apa?" tanya anak itu membuat Dawai berhenti melangkah. Senyum Dawai kembali, memutar tubuhnya sampai hampir saja terjerembeb ke tanah, jika anak laki-laki tidak segera memegang tangannya.

"Aku panggil kamu es batu aja, ya? Biar aku jadi mataharinya, menyinari sampai kamu mencair," tutur Dawai. Ah, dia pencinta drama, berpikir kisahnya akan seindah dalam imajinasi liarnya.

"Terserah saja lah," sahut si anak laki-laki.

"Dek, ya ampun, kamu gak apa-apa?" Saga terlihat begitu khawatir, memeriksa seluruh tubuh adiknya. Saga terkejut mendapati luka di lutut Dawai. Pria itu menatap tajam si es batu di hadapannya.

"Bang, bukan salah es batu kok. Dia yang nolong Dawai," jelas Dawai sebelum Saga menyalahkan anak yang sudah menolongnya, meski awalnya menyebalkan.

"Es batu?" bingung Saga menatap anak laki-laki tersebut bergantian dengan saudarinya.

"Hehe dia es batu dan aku akan jadi mataharinya," sahut Dawai menunjukkan cengiran polosnya. Saga mengangguk mengerti, sepertinya selain dirinya, Dawai juga memanggil orang lain dengan sebutan tersebut. Saga dingin pada orang lain, keturunan dari Allegra yang mendominasi.

"Makasih udah nolong adik saya," Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Saga menggendong Dawai untuk masuk ke rumah.

Untuk terakhir kalinya, Dawai menatap es batu tersebut, yang masih mematung, tanpa senyum sama sekali. Dawai mengalihkan perhatian, pertemuan pertama yang meninggalkan kehangatan di hati Dawai. Dia ingin menjadi matahari sekaligus menjadikan si es batu sebagai penyelamat, membawanya keluar dari menara menakutkan yang menahannya selama bertahun-tahun.

...

Khawatir, satu kata yang menggambarkan keadaan keluarga Dawai. Mereka masih tidak menyangka Dawai melukai dirinya, lagi.

"Pasti Saga yang buat Dawai seperti ini lagi," lontar Zayn curiga pada saudaranya tersebut.

Hanya Saga yang selalu berhasil membangkitkan kecemasan Dawai, membuat Dawai hidup dalam rasa bersalah.

"Bukan, Saga tidak salah. Wajar, dia menuntut atas rasa sakitnya. Saga dan Dawai adalah korban dari kebohongan Mama," sahut Miley, menatap lama gadis yang tengah tertidur tersebut. Gadis itu pasti lelah, sehingga memilih tidur lebih lama. Sejak mereka tiba, Dawai sudah tertidur, bahkan sampai detik ini, gadis itu belum juga berniat membuka mata, untuk sekadar memberitahu kalau dia baik-baik saja.

"Ma," tegur Alfy tidak setuju.

Bagaimana mungkin seorang ibu tega menyingkirkan buah hatinya sendiri? Bagaimana mungkin Miley membiarkan janin yang sedang bertumbuh itu diambil lagi?

Miley tidak memiliki pilihan selain menutupi kebenaran kalau janin yang dia kandung adalah bayi perempuan. Jika dia memberitahu Allegra sejak awal, mungkin Dawai tidak akan pernah melihat dunia. Allegra pasti akan memaksanya untuk menyingkirkan gadis istimewa tersebut.

"Maafkan Mama, Nak. Maaf Mama menempatkan kalian dalam situasi sulit," lirih Miley. Alfy menarik Miley ke dalam pelukannya, memberi ketenangan pada wanita yang melahirkannya itu.

Tatapan Alfy bertemu dengan Gwen, yang tidak sekali pun absen menemani Dawai melewati masa sulitnya. Senyum tulus Gwen membuat Alfy merasa lebih baik.

Banyak yang menyayangi Dawai, pasti gadis itu akan bertahan, bukan?

Bukan Snow White - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang