📖Viola Allegra📖

26 1 0
                                    

Seandainya saja, saat itu dia lebih berani menjadi dirinya sendiri, tentu masalahnya tidak akan seberat saat ini. Tatapan gadis itu menerawang ke luar jendela, yang mulai basah oleh rintik hujan. Kenangan itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Kenangan yang selalu berhasil melemahkan seluruh jiwa dan fisiknya.

Dia belum sembuh, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, rasa sakit itu masih tersisa, bahkan bekas luka membekas dengan baik di beberapa bagian tubuhnya.

Dawai menghela napas, yang terasa begitu berat. Rasanya udara begitu sulit masuk ke paru-parunya.

"Dasar anak tidak berguna!" Mata Dawai spontan tertutup saat teriakan itu kembali menggema di kepalanya.

"Maaf, P..Pa. Dawai janji akan berusaha lebih baik lagi. Dawai.." mohon suara parau itu dengan terbata. Batinnya terluka parah dan luka di fisiknya semakin menjadi.

"Mas cukup! Dawai masih kecil, jangan memaksanya seperti ini. Biarkan dia berkembang sesuai kemampuan dan waktunya, Mas," Miley berusaha membela putri sematawayangnya. Dawai kecil mendekati Miley, memeluk erat tubuh wanita tersebut. Tubuhnya bergetar hebat, perang batin dan pikirannya berlangsung tanpa jeda, membuat gadis kecil itu merasa semakin sesak.

"Jangan berani membelanya, Miley," teriak Allegra, bahkan dengan berani menarik paksa Dawai dari pelukan Miley.

Dawai menerima luka di fisiknya. Namun, dia tidak bisa terima jika Miley ikut terkena imbas karena membelanya. Tangan gadis kecil itu terkepal, melihat bagaimana tangan kasar Allegra menyentuh ibunya. Dia sudah lemah, sementara batinnya terus menjerit, memaksanya untuk memberontak. Detik berikutnya, Dawai tidak mengetahui apa yang terjadi, tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan.

Terakhir yang dia ingat hanya Miley yang menangisinya, dan ditarik menjauh oleh Allegra.

Tanpa sadar butiran bening mulai membasahi pipi Dawai, sementara mata indahnya masih tertutup rapat.

"Lo pembunuh! Gue benci lo, Dawai! Gue benci, dan gue harap lo mati!" Makian dan tatapan kecewa Saga bergantian di dalam pikirannya.

"Sakit," gumam Dawai dengan suara parau.

Perlahan kedua mata indah itu terbuka saat merasakan tangan seseorang melingkar di pinggangnya.

"Ngapain sih lihatin hujan mulu?"

Dawai bergegas melepas tangan Rega yang melingkar di pinggangnya.

"Kenapa?"

"Lo kok bisa masuk kamar gue?" Harusnya bukan itu yang Dawai tanyakan.

Ah, dia terlalu gugup untuk memikirkan pertanyaan yang lain. Rega bukan hanya sekali memasuki kamarnya tanpa izin, entah bagaimana pria yang dianggap brengsek itu bisa mendapatkan kepercayaan dari Miley dan keempat saudaranya, bahkan Lyre dan Rayano terlihat mulai menerima kehadiran Rega.

"Sini," panggil Rega merentangkan pelukannya. Dawai terdiam sejenak. Terbesit keinginan untuk berlari ke pelukan hangat itu. Namun, gengsi dan egonya masih saja tinggi.

Dawai mengalah, memilih masuk ke dalam pelukan hangat Rega.

"Apa lo akan percaya kalau gue bilang, bukan gue pelakunya? Gue gak tau apa yang terjadi malam itu, Ga..gue.."

"Shuuttt,.gak perlu dilanjut. Lo hanya perlu tenang, tutup mata, dan rasakan kehangatan dari gue," ucap Rega mengelus rambut Dawai lembut.

"Tapi gak ada yang percaya sama gue. Bukti menunjukkan kalau gue yang udah membuat Papa meninggal," gumam Dawai melepas luka lamanya begitu saja. Tangan Rega terhenti, tidak lagi mengelus rambut gadis itu.

Dawai menangis dalam diam. Cepat atau lambat, Rega akan meninggalkan seorang anak yang bahkan tega melukai orang tuanya sendiri.

"Pasti ada cara untuk membuktikan kalau lo gak bersalah." Ucapan Rega tersebut membuat Dawai mendongak, mengamati sejenak ekspresi Rega.

Bukan Snow White - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang