📖Pengabdian📖

28 4 0
                                    

Rega menyelamatkan Dawai? Entahlah, setelah mengetahui kalau Rega dengan sengaja meminta Lyre untuk menghilang di saat terpenting, Dawai cukup dibuat kesal. Gadis itu mengangkat tinggi gaunnya, menjauhi Rega yang terus berusaha mengimbangi langkahnya.

"Gue udah menolong lo tanpa terluka, sesuai perjanjian lo harus mengabulkan permintaan gue," ucap Rega membuat langkah Dawai terhenti. Gadis bergaun putih itu membalikkan badannya, wajah memerahnya menunjukkan betapa murkanya gadis itu sekarang.

"Menolong? Lo.."

"Itu keinginan Lyre, gue hanya melakukan apa yang dia mau, lagipula gue gak merusak pertunjukan kalian, 'kan?" sahut Rega dengan santai, padahal pria itu yang lebih dahulu memberi penawaran pada Lyre.

Dawai menghela napas, menenangkan diri sejenak, sebelum kembali menatap wajah menyebalkan Rega. Pria itu benar, tidak membuat penonton kecewa dengan alur di luar script yang mereka siapkan. Namun tetap saja, rasanya sangat tidak pantas, Rega mengganti akhirnya sesuka pria itu.

"Come on, Baby. Permintaan gue gak akan aneh, kok," lontar Rega.

"Apa permintaan lo?" Dawai kembali ketus. Ah, haruskah Rega kembali terluka, agar Dawai perhatian lagi padanya? Pria itu mengikis jarak dengan Dawai, menarik lembut dagu Dawai. Pria itu mengulas senyum terbaiknya.

"Gue mau waktu lo, 24 jam untuk mengunjungi tempat random sesuai keinginan gue, gimana?" urai Rega masih dengan posisi yang sama. Setiap menatap mata bulat itu, Rega dibuat kembali ke awal pertemuan mereka.

First kiss yang jadi awal masalah dia semakin penasaran dengan Dawai, membawanya untuk lebih dekat dengan si putri teater. Rega juga tidak mengerti, kenapa bisa melewatkan gadis secantik Dawai selama sekolah di SMA Nusantara.

"Besok jadwal latihan, harusnya lo juga datang, bukan?" sahut Dawai menjauhi Rega, mendumel kecil, merutuki Rega yang selalu berhasil membuat jantungnya berdebar. Pria itu malah tersenyum puas.

"Gue tunggu besok pagi. Pengabdian pada orang yang sudah menyelamatkan lo, jauh lebih penting dibanding sekedar latihan. Gue tau lo pasti lebih paham perihal itu," lontar Rega melangkah mendekat, menaik turunkan alisnya di depan Dawai.

"Gue tunggu kedatangannya putri cantik," ucapnya sebelum menghilang dari pandangan Dawai. Gadis itu mendengkus kesal, hanya beberapa detik sebelum seulas senyum mulai muncul.

Apakah kini dia berhak bahagia, setelah semua kesalahan di masa lalu? Apakah kali ini dunia memaafkan dan menerima kehadirannya?

"Rega Leonardo, gue gak tau kenapa lo begitu dikagumi sama dia, tapi ini juga pertama kalinya, dia menerima orang lain dengan baik, bahkan sampai mengaguminya. Pangeran? Apa itu bisa jadi nyata?"

Pertanyaan yang hanya pribadi alternatif itu yang tahu jawabannya. Dawai memutuskan untuk melakukan bentuk pengabdian pada sosok penyelamatnya. Sama seperti setiap dongeng, akan ada timbal balik, dari setiap kebaikan yang dilakukan, baik itu disengaja atau tidak.

Sekali lagi, Dawai memperhatikan penampilannya.

"Apa gue berhak bahagia?" gumam Dawai menatap gambaran yang begitu sempurna di cermin. Kalau bisa request pada Tuhan, Dawai akan meminta wajah jelek saja, asal tidak mendapat hidup sekacau ini. Dia benci setiap kesempurnaan yang ada padanya.

"Dulu, gue begitu mengagungkan wajah itu, tetapi sekarang, untuk melihatnya aja gue jijik," lirih Dawai. Dering ponsel menarik perhatian gadis itu, membuatnya bergegas turun. Tidak seorang pun di rumah, membuatnya lebih leluasa untuk pergi.

Keempat abangnya sedang sibuk, bahkan di akhir pekan. Dawai mengerti, mereka menghabiskan waktu di luar, agar tidak membuatnya merasa terkurung, meski Dawai menyadari ada banyak mata-mata yang mereka siapkan untuk menjaga Dawai. Terbukti, setiap terkena masalah, mereka bisa langsung mengetahuinya.

"Are you okay?" tanya Rega menangkup wajah Dawai yang terlihat sendu.

"Buat gue bahagia hari ini, please," Lagi, dia meminta tolong pada orang lain. Ah, sepertinya Dawai akan selalu menjadi gadis lemah, yang tidak bisa apa-apa di dunia ini.

Rega membungkukkan tubuhnya, mengulurkan tangan untuk digenggam oleh Dawai. Gadis itu tersenyum kecil, menerima uluran tersebut. Dia berhak bahagia 'kan? Hari ini aja, boleh, ya?

Dawai manut saja, tidak terlalu ambil pusing dengan jalan yang Rega pilih. Hari ini, dia hanya ingin terbebas sebentar saja.

"Ayo, tuan putri, saatnya bahagia," ucap Rega.

Tempat pertama adalah sebuah museum seni dan arsitektur. Dawai dibuat takjub pada look pertama tempat tersebut.

"Jangan habiskan waktu dengan terkagum di tempat ini saja, ada banyak tempat yang harus kita kunjungi," tegur Rega berjalan mendahului Dawai yang terdiam, mengagumi ruangan bak istana tersebut.

Dawai tertawa, menirukan gaya patung yang terpajang di sana. Kebahagiaannya sesederhana itu. Di lain sisi, Rega tidak berhenti mengambil gambar gadis yang tengah menikmati bahagianya.

"Gak mau difotoin juga, Mas?" tawar salah seorang dari pengunjung. Rega berpikir sejenak.

"Boleh, tapi jangan sampai dia tahu," sahutnya, berjalan mendekat ke arah Dawai. Akan lebih natural, jika gambar yang diambil tanpa aba-aba atau terkesan diatur. Rega sengaja mengusili Dawai, membuat berbagai ekspresi Dawai tertangkap kamera.

"Udah puas? Kita harus ke tempat lain lagi,"

Dawai tersenyum puas, mengangguk kecil. Meski sesaat, dia bisa merasakan kedamaian yang sama seperti dulu.

Dawai dibuat bingung, ketika mereka malah berhenti dulu di salah satu toko, bahkan Rega memintanya untuk berganti pakaian yang lebih santai.

"Ngapain sih? Ribet banget, udah ini aja," protes Dawai tidak terima.

"Pengabdian, tuan putri," sahut Rega mengingatkan. Dawai dengan mendumel kecil, menerima pakaian yang Rega beli, sama persis dengan milik pria itu. Ah, haruskah Dawai merasa kesal atau malah tersipu?

"Nice, pakai topi jauh lebih menarik," ucap Rega memasang sebuah topi di kepala Dawai, tidak lupa merapikan rambut gadis itu lebih dahulu.

"Siap ke tempat keduanya?" Dawai mengangguk kecil, masih terkejut dengan perlakuan Rega padanya. Ingatkan Dawai kalau Rega tetap pria yang sudah mengambil first kiss-nya, pria yang harusnya dia waspadai kehadirannya.

"Kita naik kapal? Mau ke mana sih?"

"Ke suatu tempat, di mana lo bisa makan dan menikmati setiap detiknya tanpa gangguan dari orang lain. Hanya ada lo dan bahagia lo di sana, jadi gue berharap lo akan menyukainya, karena ini juga salah satu impian gue.." urai Rega.

"Sure, gue senang tempat yang damai, impian gue juga, dulu," sahut Dawai terlihat lebih antusias dari sebelumnya.

Mereka memiliki mimpi yang sama? Lalu mewujudkannya bersama juga.

Rega membantu Dawai menaiki kapal yang akan membawa mereka. Gadis cantik dengan kacamata hitam itu merentangkan tangannya, menerima terpaan angin yang menyapu wajahnya.

"Lo suka?" tanya Rega melingkarkan tangannya di pinggang Dawai.

"Gue masih gak nyaman, Ga," Dawai melepas tangan Rega di pinggangnya, menciptakan jarak dengan Rega.

"Gue gak bohong, gue mulai menyukai lo, Wai," ungkap Rega terlihat lebih serius.

"Lucu lo," Dawai menyahuti dengan santai, seolah belum percaya ada yang menyukai gadis aneh sepertinya.

"Kenapa lo gak percaya kalau gue mulai suka sama lo?"

"Karena gue gak pantas untuk itu, menerima cinta dari orang-orang. Dunia pun menolak kehadiran gue, Ga. Gue begitu menjijikkan, sampai untuk melihat diri sendiri dicintai pun, gue masih merasa sangat aneh," urai Dawai membuat Rega berusaha keras mencerna maksud ucapannya.

"Apa ini ada hubungannya dengan Saga?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga, Rega adalah sahabat Saga, saudara Dawai tersebut, dan di antara sahabatnya yang lain, hanya Rega yang sudah mengetahui fakta tentang Dawai dan Saga yang ternyata bersaudara. Pantas saja selama ini, Saga tidak pernah memberitahu mereka, marga pria itu.

"Kelak kalau lo tau, lo juga akan menjauhi gue," sahut Dawai.

...

Bukan Snow White - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang