Bukan hanya dalam kehidupan, bahkan dalam sebuah drama, karakter utama terbagi dua, yaitu tokoh utama yang berperan sebagai hero dan karakter yang berperan sebagai villain. Sebuah masalah tidak akan muncul jika tidak ada tokoh villain di dalamnya, dan tugas si tokoh hero lah untuk memecahkan masalah tersebut.
"Kenapa tokoh jahatnya harus ada?" tanya gadis kecil itu pada sahabatnya. Bibirnya menggerucut sempurna, memperlihatkan betapa dia kecewa dengan si tokoh villain dalam kisah yang dia baca.
Sahabat baiknya tersenyum kecil, dia selalu menyebut dirinya sebagai putri matahari. Kalau katanya matahari itu kuat, hingga mampu mencairkan es sekali pun. Si putri matahari menoleh pada anak laki-laki yang masih sibuk dengan buku di tangannya. Sudah berlalu cukup lama, tetapi belum ada tanda si es akan mencair.
"Karena kalau villainnya gak ada, heronya gak akan tumbuh dengan baik. Dalam sebuah kisah, harus ada lika-likunya. Luka yang kelak akan mendewasakan dan menguatkan si tokoh hero. Benar 'kan, pangeran es?" jelas Dawai mengulas senyum, memusatkan perhatiannya pada anak laki-laki itu.
"Heum," Sesingkat itu. Benar-benar pangeran es.
"Seperti scenario yang diciptakan si penulis dalam buku yang kamu baca. Begitu pula dengan kehidupan kita. Kelak, kita akan dilatih oleh masalah yang hadir, oleh orang-orang yang tidak sesuai harapan kita. Namun, percayalah, akhirnya akan menjadi baik, selama si hero tidak menyerah pada hidupnya," tutur si putri matahari lagi.
Tanpa dia sadari, anak laki-laki yang tengah menyibukkan diri membaca buku tersebut, mendengar semua penuturan dewasa gadis seusianya itu. Perkataan gadis itu yang selalu dia ingat, bahkan mengubah hidupnya hingga detik ini.
Rega menghisap rokoknya kembali, melepaskan asap ke udara. Tidak lagi peduli dengan sekelilingnya. Hanya Dawai yang bisa membuatnya membuang rokok yang bahkan belum habis terbakar. Namun, sayang sekali, gadis itu bahkan menjauhinya sekarang, bersikap seolah tidak pernah mengenal Rega Leonardo.
"Apa itu benar-benar lo, Wai? Si putri matahari yang begitu cerewet? Setelah mengubah orang lain dan hidupnya dengan kata-kata bijak lo, sekarang malah lo yang hendak menyerah dengan hidup lo sendiri, Wai," gumam Rega menghela napas begitu berat, menatap lapangan yang begitu luas di bawah sana.
Seharusnya malam itu, dia tidak membiarkan Dawai bertemu Carion, jika mengetahui Carion akan membuat Dawai merasa sendiri lagi.
"Akhh, sialan lo, Kar," teriak Rega, beruntung di rooftop, hanya ada dia seorang diri, jadi tidak perlu mengganggu orang lain.
Masalah dengan Saga belum juga selesai, sekarang Dawai bahkan muncul sebagai sosok yang berbeda lagi. Rega menemukan sosok Dawai yang dia kenal dalam salah satu pribadi alternatif gadis itu. Namun, pernyataan Caroline membuatnya mulai ragu.
"Itu lo atau bukan sih, hei putri matahari. Gue mau bilang kalau pangeran es itu udah mencair, dan kini berharap bisa jadi air yang bisa mengurangi panas di hidup lo, Wai," Rega menundukkan kepalanya.
Sejak bertemu Dawai, Rega hanya merasa penasaran dan ingin bermain-main, sama seperti dengan gadis yang lain. Namun, kemunculan salah satu pribadi alternatif itu membuat Rega semakin ingin mengenal Dawai, merasa yakin kalau Dawai adalah sosok matahari di masa lalunya. Si gadis kecil, dengan semua lukanya.
Pintu terbuka dengan kasar, menarik perhatian Rega.
"Apa lagi? Gara-gara lo, Dawai menjauh dari gue," tukas Rega menyalahkan Carion.
"Ini lebih parah dari dugaan lo. Ikut gue," Carion menarik tangan Rega, memaksa pria itu untuk mengikuti langkahnya.
"Ck, apaan lagi sih?"
"Gara-gara Dawai doang, lo menjauh dari gue? Kalau gitu lo harus lihat, kalau Dawai bukan gadis yang lo cari," cecar Carion.
Carion pergi lebih dulu, merasa yakin kalau kalimatnya cukup membuat Rega tersadar. Benar saja, Rega benar-benar mengikutinya.
"Dawai, apa yang lo lakukan?"
Untuk masuk ke dalam toilet tersebut, mereka harus melewati kerumunan dengan segenap rasa penasarannya. Dawai benar-benar berubah total, menjadi sosok yang tidak Rega kenal. Di toilet tersebut, Dawai berdiri dengan santai, sementara di hadapannya, Anisa dan dua siswi yang Rega tidak kenal sudah terduduk lemas. Tidak seorang pun berani membantu Anisa dan rekan-rekannya. Apalagi melihat cara Dawai menatap mereka dengan tajam.
"Apa yang udah lo perbuat, Dawai?" ulang Rega menatap tajam gadis di hadapannya. Bukannya takut, Dawai malah membalas tatapannya, bahkan mengembangkan senyum miring.
"Dawai, who is she? Gue itu Viola Allegra, call me Vio," sahutnya begitu santai. Semua pandangan terpusat pada mereka, bisa berbahaya kalau semua orang mengetahui kelemahan Dawai.
Tatapan Rega meredup. Rasa rindu pada sosok Dawai yang sesungguhnya menyusup ke dalam hatinya. Dawai yang keras kepala, gadis yang malu-malu tapi mau, gengsi Dawai tinggi juga gadis yang begitu lemah tetapi berpura-pura terlihat begitu kuat.
"Oke, Vio, sekarang lo harus ikut gue," perintah Rega, tetapi Viola menolak. Gadis itu bahkan mendorong Rega menjauh dengan kasar.
"Gue bukan dia yang bisa lo perintah sesuka lo," tolak Dawai. Rega sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi. Tanpa menunggu, Rega mengangkat tubuh Dawai ke atas bahunya, tidak peduli dengan Dawai yang terus memukuli punggungnya.
"Sial, siapa lo berani menyentuh gue!" teriak Dawai menatap tajam pada pria di depannya.
"Sejujurnya gue gak masalah lo terkena masalah, tetapi tubuh itu milik orang yang harus gue jaga. Gue gak rela gara-gara lo, dia dihukum," cecar Rega. Dawai tertawa, mungkin menertawakan kebodohan pria di hadapannya.
"Lo khawatir sama dia? Yakin dia yang asli atau salah satu dari kita yang alternatif?" tanya Dawai bertubi-tubi, Rega terdiam selama beberapa saat, membuat gadis di hadapannya menyimpulkan jawabannya sendiri.
"Dawai!" teriak Saga yang muncul dengan mata memerah, rahang pria itu mengeras sempurna.
Rega siaga, menutupi tubuh Dawai dengan tubuhnya.
"Minggir, Ga. Ini masalah gue dengan si pembuat onar itu," tukas Saga semakin tidak suka. Rega masih sahabatnya dan Saga masih menghargai itu.
"Dia tetap seorang cewek, dan gue gak akan membiarkan lo melukai dia seperti beberapa waktu yang lalu," jawab Rega kukuh melindungi Dawai.
"Heum, akhirnya kita bertemu lagi, Saga Allegra," sapa Dawai muncul dari balik punggung Rega, membuat pria itu berdecak.
"Apa lagi yang lo perbuat, hah? Lo benar-benar keterlaluan? Selanjutnya siapa lagi yang jadi korban lo, setelah Papa?" cecar Saga mengikis jarak. Rega kembali sigap, menjauhkan Dawai dari jangkauan pria yang tengah dipenuhi amarah tersebut.
"Gak perlu, gue bisa selesaikan ini sendiri. Gue bukan dia yang lemah," ucap gadis itu, melangkah mendekati Saga.
"Lo menganggap gue villain 'kan?"
"Bagus kalau lo sadar diri. Ke mana aja heum? Sampai menganggap diri lo tokoh yang tersakiti?" ucap Saga penuh kebencian. Sama sekali tidak menyiutkan nyali Dawai, benar-benar berbeda dari gadis yang selalu menangis tiap kali dia bentak.
Saga menyadarinya, tetapi memilih mengabaikan fakta perbedaan tersebut.
"Memangnya ada ya, asap yang muncul kalau tidak ada api yang membakarnya?" Dawai tersenyum kecil.
"Villain tidak pernah muncul kalau hero gak ada," lanjut Dawai lagi. Gadis itu melangkah dengan santai, meninggalkan dua pria yang terdiam begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Snow White - SELESAI
Novela Juvenil"Shit, first kiss gue," protesnya menyentuh bibir salemnya. "Akhirnya bangun juga," Carion berucap lega. Berbeda dengan Rega yang masih menatap gadis itu tanpa ekspresi, Dawai justru sudah hampir meledak. Setelah dibuat pingsan sama bola yang pria...