📖Perihal Bersyukur📖

30 3 0
                                    

Masih ingat dengan takaran hidup? Duka dan sukanya pasti seimbang, dengan begitu bahagia akan menjadi lebih mudah diraih. Dawai sendiri yang pernah mengajarkan hal sederhana itu pada orang yang dia temui. Namun, justru dia yang kini kesulitan menemukan bahagia. Dia pernah bahagia, tentu saja. Hanya kini ada kekosongan dalam hatinya, yang entah sampai kapan mencengkramnya dalam kegelapan dan rasa sakit.

Caroline mengangguk kecil, mendengar penjelasan masa lalu yang Rion ceritakan tentang sosok Dawai.

"Dia begitu bahagia, meski lukanya lebih besar," gumam Caroline, Rion menghela napas dengan kasar. Kalau saja, mereka lebih awal menyadari kalau Dawai tersiksa, tentu gadis itu akan baik-baik saja, peristiwa hari itu pasti bisa dicegah. Dawai tidak perlu menderita karena kepribadian ganda yang dia miliki.

"Kakak cantik," Panggilan itu membuat keduanya menoleh, menyambut gadis cantik yang masih lengkap dengan baju rumah sakit.

"Kenapa keluar, heum? Dawai 'kan masih sakit," Rion merapikan kepangan rambut saudarinya. Yup, little Dawai sudah kembali. Gadis kecil yang menyimpan luka di balik senyum ceria tanpa beban yang selalu dia tunjukkan.

"Dawai bosan, pangeran belum datang, ya?" Dia mengedarkan pandangan dengan bibir mengerucut, begitu ingin bertemu sosok pangeran dalam mimpinya. Masih ingat dengan kisah matahari dan pangeran es, yang jelas masih tertanam dalam pikiran little Dawai.

"Dawai," panggil Caroline, mengembangkan senyum lembut, membuat Dawai membalasnya tak kalah manis. Gadis itu beralih ke dekat Caroline.

"Mau dengar cerita yang Dawai ciptakan sendiri?" tawar Dawai dengan semangat, Caroline mengangguk, merasa Dawai mulai nyaman di dekatnya. Akan lebih mudah menggali informasi, jika pribadi alternatif tersebut juga menyukainya.

"Ini tentang pangeran es, bunga matahari dan pangeran kupu-kupu. Dahulu kala..gadis yang seindah bunga matahari bertemu dengan pangeran es yang sangat tampan. Namun, dia sangat dingin dan tidak suka diganggu. Dia sering buat putri matahari menangis," Dawai mulai bercerita, menatap boneka snow white kesayangannya.

"Pangeran es jahat? Kenapa masih dikejar?" Caroline mulai menyesuaikan diri.

Dawai menggeleng dengan polos "Dia baik, hanya saja terlalu kaku untuk menunjukkan rasa sayangnya, sama seperti..Bang Saga," nada suara Dawai menjadi lirih kala mengucapkan nama Saga. Dia masih ingat meski dingin, Saga yang paling menyayanginya.

"Lalu bagaimana dengan pangeran kupu-kupu, bukankah kupu-kupu membutuhkan bunga matahari juga?" Rion mengulas senyum melihat interaksi yang berjalan lancar antara Dawai dan kekasihnya. Rion hanya bisa berharap, Caroline bisa membantu Dawai untuk sembuh.

"Heem, pangeran kupu-kupunya sangat manis. Dia yang selalu ada, menghibur saat putri matahari sedih dengan tingkah konyolnya. Itu hanya dongeng ciptaan Dawai, kok, gimana menurut Kakak cantik?" Dawai seolah enggan melanjutkan kisah yang tengah dia ceritakan.

"Bagus, Kakak semakin penasaran dengan akhir dari kisahnya," Caroline mencoba memancing Dawai agar lanjut bercerita. Mungkin saja, ada hal yang bisa mereka peroleh dari hasil imajinasi Dawai tersebut.

"Kakak bohong, ceritanya tidak sebagus kisah snow white yang bertemu pangeran," Raut wajah Dawai berubah sendu, meremas boneka dalam genggamannya. Hal itu membuat Caroline mulai khawatir.

"Ah tentu saja, kisah snow white paling disukai anak-anak," sambung Caroline menarik atensi Dawai kembali padanya. Dawai mengangguk kecil.

"Meski tidak bisa jadi putri matahari, paling tidak harus jadi putri snow white, biar terbebas dari kutukan," sahut Dawai. Kata yang untuk kedua kalinya Dawai sebut, yaitu kutukan.

"Dawai bersyukur?" Kali ini Rion yang bertanya, Dawai mengangguk.

"Dawai terlahir cantik, di tengah keluarga yang begitu menyayangi Dawai. Dawai punya lima saudara hebat, punya sahabat yang manis dan..Mama yang hebat," tutur Dawai, tangan gadis itu mengepal kala menyangkut wanita yang sudah melahirkannya.

Rion menatap gadis berusia 18 tahun yang tengah bertingkah seperti anak-anak, ditemani Caroline, gadis itu mulai membaurkan diri dengan anak-anak.

"Maaf, Abang terlambat melindungi kamu, Dek," lirih Rion penuh penyesalan.

Kapan Dawai bisa keluar dari ruang gelap jika pintunya masih terkunci dengan rapat? Kapan Dawai bisa terbebas dari rasa bersalah, jika Dawai sendiri menanamkan dalam pikiran, bahwa dia adalah orang yang pantas menderita?

..

Tepukan di bahunya membuat Rega segera tersadar, bergegas menyimpan kembali foto yang dia simpan sejak bertahun-tahun yang lalu. Foto itu bahkan mulai lusuh, termakan waktu.

"Masih mencari keberadaan dia?" Rega mengangguk sebagai jawaban.

Carion mengambil posisi di sebelah Rega, menilik foto yang sejak tadi dipandangi sahabatnya. Sedikitnya, Carion mengetahui tentang gadis kecil itu dari Rega.

"Lo bahkan gak pernah tau nama dia, gimana cara carinya? Lagi pula pertemuan kalian terlalu singkat, aneh banget sampai ingin bertemu dia lagi," celoteh Carion, seperti biasa penuh dramatisme dan sedikit dilebihkan.

Rega mengisap rokoknya, menghembuskan asap rokok ke udara, bersamaan dengan penat yang semakin sering menghampiri.

"Jangan sering-sering merokok, Ga. Lo itu pemain basket nasional, ya kali napas lo bau rokok," tegur Carion.

"Gue sedang mencoba, tapi masih susah, apalagi kalau lagi stres. Kecuali..diganti sama bibir Dawai," Langsung saja ucapan terakhir Rega mendapat satu jitakan yang lumayan kuat dari Carion.

"Gila, lo suka cewek cuman karna bibirnya doang. Brengsek boleh, tapi jangan segila itu juga, Ga. Dawai anak orang, lo gituin, gimana kalau karma jatuh ke putri lo kelak.." Carion mulai menceramahi Rega yang tengah menutup mata, menikmati setiap hisapan bahan yang mengandung nikotin tersebut.

Berbicara tentang Dawai, Rega jadi kesal mengingat keputusan Dawai yang melukai dirinya sendiri. Sebesar apa pun masalah, bukan berarti Dawai berhak melukai tubuh, yang memiliki tiga pribadi di dalamnya.

"Dia itu cengeng, cerewet, kadang malah lebih dewasa. Meski hanya pertemuan singkat, kata-kata dia udah berhasil mengubah cara pandang gue pada dunia," gumam Rega membuat celotehan Carion terhenti.

"Harusnya tanya nama juga, dong, biar gampang nyarinya," celetuk Carion merutuki kebodohan sahabatnya. Pertemuan singkat yang berhasil membuat Rega terlena, sampai lupa pada identitas anak tersebut.

[Dia kembali, dan mencari keberadaan kamu]

Satu pesan dari Rion masuk. Rega mengulas senyum tipis, mematikan rokok yang baru habis setengah. Dawai selalu berhasil membuat pikirannya lebih tenang. Dia mengambil jaket dan kunci mobil, mengabaikan raut bingung dari sahabatnya.

"Mau ke mana?"

"Ketemu tuan putri," sahut Rega tidak lagi melanjutkan aktivitas sebelumnya. Carion menautkan alisnya, merasa familier dengan nama yang baru Rega sebutkan.

"Lo udah ketemu dia?" Rega menggeleng sebagai jawaban, menambah rasa bingung di pikiran Carion.

"Gue duluan," pamit Rega, berlalu begitu saja.

Padahal baru beberapa menit yang lalu Rega terlihat begitu stres memikirkan gadis dalam foto lusuh tersebut. Namun, kini raut Rega berubah hanya oleh sebuah pesan yang Rion kirimkan.

"Akhirnya dia muncul lagi," gumam Rega, mengendarai mobilnya lebih cepat. Semakin tidak sabar untuk bertemu sosok menyebalkan yang berhasil meredakan rasa rindunya.

Bukan Snow White - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang