Pernyataan bahwa dalam persahabatan lawan jenis pasti akan memunculkan rasa yang berbeda, benar adanya. Dua tahun mengenal Dawai, Lyre mulai merasakan perbedaan yang signifikan akan perasaannya pada gadis yang tengah mengatur tim teater yang akan tampil.
Dua tahun yang lalu, Dawai hanya gadis misterius yang lebih suka menyendiri, sampai suatu peristiwa tidak terduga, membuat mereka menjadi saling mengenal. Waktu itu, Lyre menyelamatkan si putri cantik yang tidak membawa topi, hampir dihukum karena saat itu hari peringatan nasional, mengharuskan semua siswa SMA Nusantara berpakaian rapi.
Seulas senyum terbit melihat Dawai yang tertawa bersama anggota teater yang lain, terlihat begitu bebas tanpa beban. Begitulah Dawai, setiap kali akan tampil, memainkan berbagai peran, pasti akan melepaskan seluruh rasa yang dia miliki lewat tawa.
"Lo suka sama dia 'kan," ucap seseorang, Lyre mendengkus kala melihat siapa yang mengajaknya berbicara.
"Ck, ngaku aja, udah ketahuan juga," lanjut Rega membuat tatapan Lyre semakin tidak suka terhadapnya. Rega terkekeh kecil, melihat ekspresi Dawai.
"Dia cantik, rambut hitam legamnya berkilau, tawanya juga indah, apalagi rasa bibirnya," Dengan sengaja Rega menekankan kalimat terakhirnya, mengingatkan Lyre kembali kalau dia adalah pemenangnya, orang pertama yang berhasil mengambil ciuman si putri teater.
"Lo.." Lyre mengendalikan diri sebisa mungkin.
"Makasih udah menolong Dawai beberapa kali," sahut Lyre akhirnya. Meski tidak suka, Rega tetap sosok penolong Dawai, saat dia dan Rayan tidak bisa melakukannya. Ada beberapa alasan, yang membuat dia dan Rayano tidak bisa melakukan, semua hal yang bisa Rega lakukan.
"Kenapa gak lo lakukan juga? Bukannya lo sayang Dawai?" pancing Rega masih dengan tatapan menyebalkan.
"Kalau di dongeng, pemeran figuran itu hanya pendukung. Mereka tidak berhak menjadi utama, apalagi mengambil bagian terpentingnya. Dawai pernah mengatakan kalau gue dan Rayano adalah pelengkap tujuh kurcaci, yang kelak akan mengantarkan dia ke pintu kesembuhan," tutur Lyre masih dengan fokus pada si putri teater.
Bagaimana dia menanggung rasa sakitnya? Bagaimana dia bisa terlihat masih sempurna, kala begitu banyak luka di dalam dirinya?
"Kurcaci? Ah, lelucon yang menakjubkan. Wajar kalau kalian selalu menang, imajinasi kalian begitu keren. Hebat!" puji Rega, Lyre malah memutar bola matanya malas.
Harusnya, dia tidak berbaik hati untuk bercerita pada Rega, tetap saja pria itu begitu menyebalkan baginya.
"Tapi, meskipun begitu, sebelum bertemu pangeran, bukankah tugas kalian yang menjaganya? Bagaimana bisa menjaga dia kalau lo sama siapa teman lo itu?"
"Rayano," sahut Lyre singkat.
Rega menjentikkan jemarinya ke udara.
"Nah itu dia. Gue punya penawaran menarik. Gimana kalau gue jadi pelatih lo berdua?"
"Pelatih apa?"
"Bela diri, gue tau lo pasti ingin menjaga Dawai juga. Hanya kemampuan yang belum memungkinkan untuk itu, benarkan?" tebak Rega, pria dengan jas putih di sebelahnya terlihat berpikir keras.
"Apa timbal baliknya?" tanya Lyre memicing matanya, tau persis kalau Rega tidak akan membantu mereka tanpa adanya imbalan.
Rega menatap Dawai dengan gaun putih panjangnya, persis seperti putri disney, ditambah lagi dengan kulit seputih salju yang terlihat begitu mencolok. Siapa pun pasti akan berpikir kalau Dawai itu putri dari negeri dongeng, yang terdampar di dunia lain.
"Gue mau jadi pangeran Dawai hari ini," sahut Rega akhirnya.
Lyre membulatkan matanya. Dia menggeleng dengan kuat, tentu tidak ingin merusak perfome mereka, apalagi Dawai sudah berusaha keras untuk pertunjukan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Snow White - SELESAI
Ficção Adolescente"Shit, first kiss gue," protesnya menyentuh bibir salemnya. "Akhirnya bangun juga," Carion berucap lega. Berbeda dengan Rega yang masih menatap gadis itu tanpa ekspresi, Dawai justru sudah hampir meledak. Setelah dibuat pingsan sama bola yang pria...