Bagian 9

129 11 2
                                    

Bagian 9

Mas Abi sakit.

Tadi pagi setelah sholat subuh seperti biasa Aku menyiapkan pakaian untuk Mas Abi kerja lalu pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Biasanya Mas Abi Akan pergi mandi dan bersiap untuk pergi kerja. Setengah tujuh Mas Abi akan turun untuk sarapan, dan pukul tujuh pagi ia akan berangkat kerja. Rutinitas itu selalu ia lakukan setiapa hari.

Namun hari ini tidak seperti biasanya. Hingga jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi Mas Abi tak kunjung keluar kamar. Aku bernisiatif melihat apa yang tengah ia lakukan laki-laki itu setelah memastikan masakanku selesai dan kompor sudah mati.

Saat Aku memasuki kamar anehnya, Mas Abi masih tidur dengan tubuh tertutup selimut hingga ke leher. Aku yang hendak membangunkannya justru terkejut merasakan suhu panas tubuh Mas Abi saat Aku menyentuh lengannya. Ternyata laki-laki itu demam.

Alhasil, hari ini Aku absen kuliah karena tak tega meninggalkan dia di rumah sendiri. Meski Mas Abi mengatakan dirinya tidak apa-apa ditinggal sendiri, tetap saja Aku tidak tega.

"Mas, bangun dulu." Aku menepuk lengan Mas Abi dengan pelan agar ia bangun. Namun ia hanya menanggapi dengan gumaman tanpa membuka matanya, "Makan dulu trus minum obat." Aku menggoyang tubuhnya sedikit keras agar dia terbangun.

"Apa?" Suaranya terdengar serak saat ia bertanya. Keningnya mengerut tanda ia merasa terganggu dengan apa yang Aku lakukan.

"Makan dulu," pintaku.

"Nanti," tolaknya.

"Ayo Mas, biar bisa minum obat," bujukku.

"Biarkan Saya tidur, kepala Saya pusing." Mas Abi bergerak memunggungiku sembari menarik selimut.

"Makanya makan dulu terus minum obat, kalo Mas cuma tidur ya mana bisa sembuh itu sakitnya. Yang ada malah makin parah. Mas mau Aku telpon ambulan buat bawa Mas ke Rumah sakit?"

"Cerewet Kamu," dengan ogah-ogahan Mas Abi bangun lalu bersandar pada kepala ranjang setelah Aku membatu menata tumpukan bantal. Masih dengan wajah kesal ia meraih semangkuk bubur yang ku bawa dan memakannya dengan malas. Baru dua suap ia sudah mengulurkan kembali mangkuknya padaku.

"Pahit," ucapnya.

"Lagi dong, masa cuma dua suap," protesku.

"Nggak enak, Saya nggak suka," ujarnya.

"Dimana-mana orang sakit ya pasti nggak enak makan. Tapi bukan berarti Mas nggak makan, yang ada malah makin sakit. Sini Aku suapi ya."

Satu sendok ku arahkan ke mulutnya tanpa peduli dengan pelototan yang di arahkan Mas Abi padaku. Lima suap bubur sudah masuk ke perutnya dan Aku tak memaksa lagi saat ia menolak suapan ke enam. Setelah membantunya meminum obat, Aku membawa bekas peralatan makan ke dapur dan membiarkan Mas Abi kembali tidur.

Ponselku terus berdering sejak tadi pagi namun kubiarkan saja. Aku tau siapa pelakunya tanpa melihat id penelepon. Siapa lagi kalau bukan Kanaya, ia terus meneror dengan pertanyaan kenapa Aku tidak berangkat kuliah hari ini. Selama Kami kenal Aku memang tidak pernah absen jika memang bukan urusan yang sangat penting. Bahkan saat sakit saja Aku masih berangkat kuliah jika itu memang memungkinkan.

Tapi sekarang kondisinya sudah berbeda, sebagai seorang istri Aku merasa harus mendahulukan suami. Terlebih saat ini Mas Abi tengah sakit dan Aku berkewajiban untuk merawatnya.

"Ai." Panggilan dari arah kamar  terdengar.Aku memang sengaja membiarkan pintu kamar terbuka agar Aku bisa mendengar suara Mas Abi saat memanggilku.

"Kenapa Mas," Aku bergegas datang ke kamar. Takut jika Mas Abi memerlukan sesuatu.

"Kepala Saya sakit," ujarnya dengan mata terpejam.

Aku mendekat ke arah ranjang dan duduk di tepi terdekat dengan Mas Abi. Mungkin karena merasa Aku mendekat, Mas Abi langsung meletakkan kepalanya di atas pangkuanku. "Pijat ya," pintanya.

Aku baru tahu jika sedang sakit Mas Abi bisa serewel ini. Melihat kesehariannya yang terlihat seperti singa nyatanya saat sakit bisa juga seperti kucing.

Sore harinya Mama dan Papa datang. Aku memang memberi tahu mereka perihal kondisi Mas Abi yang sedang kurang sehat. Sebenarnya bukan berniat memberi tahu, toh hanya sakit biasa. Tapi karena Mas Abi seharian ini sangat sulit makan jadi terpaksa Aku menghubungi Mama untuk bertanya makanan apa yang bisa di makan Mas Abi saat sedang sakit seperti ini.

Dan ternyata Mas Abi tidak suka bubur, tapi tadi pagi Aku justru memaksanya makan bubur. Saat makan siang pun lagi-lagi Aku membuatkan bubur. Rasanya ingin tertawa namun juga kasihan. Mas Abi juga tidak bilang kalau tidak suka bubur.

Eh, apa sebenarnya bilang tapi Aku tidak sadar ya.

"Abi rewel kan kalo pas sakit gini?" Pertanyaan Mama ku balas dengan cengiran. Memang rewel anak mama satu itu. Mau makan rewel, minum obat rewel, ditinggal sebentar sudah panggil-panggil.

"Biasa kaya gitu anaknya, dia kalo sakit paling susah di suruh makan. Terus lebih milih tidur seharian dan nggak mau di ganggu."

Bagian mananya yang tidak mau di ganggu. Seharian ini Aku lelah menuruti segala permintaan dari si tuan muda. Katanya badannya sakit semua dan minta dipijit lah, katanya kepalanya sakit minta dielus keningnya lah, di tepuk-tepuk punggungnya lah dan masih banyak permintaan yang lain. Ini saja Aku bisa keluar kamar karena Mas Abi tidur, coba kalau sudah bangun pasti teriak-teriak panggil.

"Ai"

Nah kan, baru saja ku batin dia sudah panggil-panggil.

"Bentar ya Ma," ijinku sebelum menghampiri Mas Abi ke kamar. Sementara Mama hanya mengangguk saja saat Aku pergi.

Mas Abi sudah duduk di tepi kasur menghadap ke arah pintu. Ku sentuh keningnya masih hangat tidak seperti tadi pagi yang terasa panas. Wajahnya masih pucat dan Mas Abi juga mengeluh pusing.

"Kamu kemana aja sih, Saya sakit nggak ditungguin," protesnya Mas Abi.

"Ada Mama di depan, masa Aku biarin," ujarku.

"Kenapa Mama ke sini?" tanyanya.

"Emangnya nggak boleh ya?" Ku jawab kembali dengan pertanyaan.

"Kamu bilang ke Mama kalau Saya sakit?"

"Ya, Aku bingung ngurusin Mas gimana. Akhirnya telepon Mama. Tapi nggak minta Mama ke sini juga."

"Alasan Kamu itu," cibir Mas Abi mendengar penuturan dariku. Namun Aku mencoba tidak menggubrisnya.

Setelah mencuci muka dan ganti baju Aku membawa Mas Abi ke luar kamar. Jangan berfikir Aku yang membantu mas Abi ganti baju, mentalku belum seberani itu untuk melihat laki-laki dewasa bertelanjang. Aku hanya menunggu di depan kamar mandi sementara Mas Abi melakukan sendiri di dalam. Aku juga melarangnya mandi saat dia mengeluh badannya lengket keringat.

"Mama sering bilang kan, kerja itu ada batasannya Bi. Tumbangkan Kamu," omel Mama ketika melihat Mas Abi berjalan pelan menghampiri beliau.

Mas Abi tidak menjawab, hanya duduk di samping Mama setelah bersalaman dan mencium tangan Mama dan Papa.

"Udah punya istri Bi, harus pandai atur waktu. Jangan kerja terus kasian Aini." Papa ikut menambahkan namun kali ini melibatkan diriku. Padahal jika Mas Abi sibuk kerja Aku merasa tidak keberatan. Aku justru lebih tertekan jika harus menghabiskan banyak waktu dengan Mas Abi di rumah.

"Papa sama Mama ngapain ke sini?" Pertanyaan yang jelas memicu kekesalan dilontarkan Mas Abi kepada orang tuanya.

Mama yang kesalpun melayangkan cubitan di lengan Mas Abi. Bisa - bisanya bertanya seperti itu pada orang tua sendiri, " kenapa Mama bisa punya anak kaya Kamu sih."

"Abi lagi sakit lho Ma,"

"Kerja terus sampe sakit gini, trus kapan Kamu ada waktu buatin Mama cucu."

Mataku membulat mendengar ucapan Mama, namun tak ada satupun dari ketiganya yang melihat ke arah ku, seakan memang Aku tidak ada di tempat. Kenapa jadi cucu obrolannya.

"Nanti malam Abi buatin."

Uhuk... ya Allah air liurku salah saluran.

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang