Bagian 2

201 19 4
                                    

Gila Lo, Ai

Ini adalah keputusan tergila sepanjang hidupku. Tapi mau bagaimana lagi, mundur pun sudah tak bisa. Menyesal pun rasanya sia-sia.

Aku memandang diriku dalam pantulan cermin di hadapanku. Sebuah gaun cantik berwarna putih melekat indah di tubuhku. Make up tipis menghiasi wajahku. Cantik memang tapi entah kenapa Aku tak merasa kagum dengan diriku saat ini.

Ya

Pada akhirnya Aku mengiyakan permintaan Mereka.

Jujur saja, rasanya tak tega melihat Bunda, entahlah Aku hanya merasa kecewa pada diriku sendiri ketika tidak bisa memenuhi keinginan Bunda. Meski Bunda berkata tak apa jika Aku menolak, namun sebagai seorang anak Aku tau Bunda mengharap kesediaan dariku.

Memang seperti bunuh diri. Mungkin di dunia ini hanya Aku yang bersedia melakukan hal koyol ini. Menikah karena menggantikan orang laik. Bak drama picisan di buku novel, bedanya di cerita berakhir bahagia dan dalam kisahku entah berakhir seperti apa.

Di dunia ini setelah Ayah meninggal, Aku hanya hidup bersama Bunda, meski ada saudara dari pihak Ayah tapi kami tidak begitu dekat.

Sejak kecil Bunda tak pernah mendikte diriku untuk jadi seperti apa. Aku diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup yang ku inginkan selama hal itu baik. Lalu Bunda memintaku menikah dengan laki-laki yang beliau pilihkan, tidak memaksa. Bunda tetap memberiku kebebasan untuk menentukan pilihanku.

Ini adalah pertama kali Bunda meminta padaku dan Aku dengan tega tidak memenuhinya? anak macam apa diriku ini.

Tapi ya sudahlah. Meskipun penyesalan hinggap di hati, namun ini sudah menjadi pilihanku. Kelak seperti apa nanti jalan yang akan ku lalui Aku hanya akan pasrah pada takdir yang sudah di gariskan padaku.

Suara ketukan pintu dan disusul dengan suara pintu terbuka tak membuatku mengalihkan pandangan dari cermin.

"Ai, waktunya turun." Itu suara Bunda, perempuan yang sangat ingin sekali ku bahagiakan namun entah dengan cara seperti apa.

Aku berbalik menatap Bunda, sebuah senyum dengan mata yang memancarkan binar bahagia terpancar di wajahnya. Apa Bunda bahagia dengan pernikahan ini?

Kuraih tangan beliau lalu kucium dengan khidmad.

"Bun," panggilku.

"Hmm?"

"Restui pernikahan Aini, doakan Aini semoga menjadi istri yang baik untuk suami Aini," suaraku bergetar. Aku sudah mewanti-wanti diriku untuk tidak menangis sejak tadi. Namun tetap saja air mataku tak bis ku bendung.

Air mataku menetes begitu juga dengan Bunda, kami berpelukan. Setelah ini fase baru dalam kehidupan akan ku jalani.

"Pasti, Bunda akan selalu mendoakan kamu, Nak."

Aku menghela nafas berulang-ulang. Degup jantung yang begitu cepat membuat tanganku berkeringat. Bunda senantiasa menggenggam tanganku dalam tiap langkah kami. Semua sorot mata para tamu undangan tertuju padaku, suara bisikan di sekitar masih mampu ku dengar.

Mungkin mereka heran mengapa Aku yang menajadi mempelai wanita, bukan seseorang yang namanya tertulis pada kertas undangan.

Tentang wali nikah, Bunda sudah menghubungi Pakdhe Joko yang ada di Jogja. Pakdhe Joko adalah kakak Ayah, beliau tinggal di Jogja. Dan karena terkendala waktu dan jarak akhirnya kami melakukan perwalian melalui jaringan telepon.

Tante Rika menyambutku dengan senyum, dibantunya diriku duduk di samping laki-laki yang akan menjadi suamiku. Kafabi, laki-laki asing yang baru ku temui kemari malam saat Kami berada dalam meja yang sama saat makan malam, siapa yang bisa menebak jika laki-laki ini akan menjadi suamiku setelah ijab qobul di ucapkan.

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang