Bagian 11

191 10 5
                                    

Aku yakin sekali wajahku merah sekarang. Bukan karena bersemu tapi malu sekaligus kesal. Bagaimana tidak, Aku sudah melambung tinggi karena dipuji cantik lalu tiba-tiba di hempas tanpa perasaan. Dengan jahatnya laki-laki yang kini duduk di sampingku berkata, "pakaian mahal memang bisa merubah itik buruk rupa jadi angsa,"

Siapa yang tak kesal disamakan dengan itik?

Aku menghela nafas kesekian kalinya untuk meredam rasa kesalnya. Dan sepertinya disadari oleh Mas Abi yang tengah fokus pada jalanan yang kami lalui. Kami tengah berada dalam perjalanan menuju tempat acara. Entah acara apa Mas Abi tak bilang. Aku pun tak berminat untuk bertanya.

"Jangan kasih tujuk wajah suram begitu, orang bisa berfikir Saya berlaku buruk padamu."

Memang. Dia tampaknya tak sadar ke jahatan apa yang sudah di lakukan padaku selama ini.

Aku masih bertahan dengan diamku hingga mobil yang kami tumpangi berbelok ke sebuah gedung mewah. Mas Abi menghentikan mobil di depan pintu loby dan di sambut oleh petugas valet. Aku berdiri menunggu Mas Abi selesai dengan urusannya sembari mengamati orang yang berlalu lalang di sana. Semua orang berpakaian mewah, tak jarang pula yang memakai perhiasan mahal. Ternyata memang kehidupan orang kaya serba pamer begini. Pantas jika Mas Abi rela menghabiskan banyak uang untuk penampilanku malam ini. Jika tidak sudah pasti Aku akan menjadi bahan olok-olokan nanti.

Tubuhku berjingkat ketika sebuah lengan menyusup memeluk pinggangku. Hangat tubuh serta aroma parfum yang familiar tercium hidung membuat tubuhku meremang. Laki-laki itu menarikku mengikuti langkahnya memasuki gedung. Padangannya lurus ke depan penuh dengan wibawa sesekali mengangguk saat ada yang menyapa. Mas Abi dengan ketampanan dan fisik yang mempesona selalu membuatku berfikir, kekurangan apa yang ia punya hingga di tinggal di hari pernikahannya.

"Halo Pak Abi," sapaan dari seseorang membuat langkah Kami berhenti dan menoleh pada asal suara.

Seorang pria paruh baya tengah menatap kami dengan senyuman ramah. Di sampingnya berdiri seorang remaja laki-laki yang tampak bosan dengan kegiatan saling sapa ini.

"Halo Pak Bima. Bagaimana kabar bapak?" Normalnya orang ketika di sapa dengan ramah seperti itu akan membalas dengan senyum juga. Namun berbeda dengan Mas Abi, meski ia membalas sapaan bahkan menanyakan kabar namun ekspresi yang di tunjukkan hanya datar tanpa senyuman.

"Saya baik, Pak. Rasanya sulit sekali bertemu dengan Pak Abi. Padahal saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahannya. Saya tidak sempat datang karena masih menjalani pengobatan di Singapura saat itu."

Ucapan panjang lebar itu hanya dapat balasan singkat dari Mas Abi. Membuatku gemas sendiri dengan sikap bapak kaku yang sayangnya adalah suamiku. Sepertinya memang Pak Bima ini salah satu orang yang berada dalam naungan Mas Abi karena meski medapat respon se sombong itu dari Mas Abi, Pak Bima masih melempar senyum ramah.

Obrolan berlanjut meski dengan topik pekerjaan yang tak ku pahami. Mas Abi juga mengenalkan dirikku sebagai istrinya kepada Pak Bima. Dan beliau juga mengenalkan laki-laki di sampingnya yang ternyata adalah anak bungsunya. Satu - satunya anak laki - laki yang di gadang - gadang sebagai penerus. Kasihan, di usianya yang masih muda dirinya harus terlibat dalam urusan politik perusahaan. Aku menatap Mas Abi yang masih berbincang di sampingku, laki-laki yang merangkulku ini apakah mengalami masa muda yang sama dengan anak laki - laki Pak Bima?

Mas Abi mengajakku bertemu dengan tuan rumah pesta malam ini setelah puas mengobrol dengan Pak Bima. Sebuah meja panjang terisi dua laki-laki dan dua perempuan yang tengah bercanda. Riuh tawa mereka menggema tak perduli dengan hiruk pikuk orang-orang di tengah pesta. Kedatangan Kami tentu mendapat sambutan heboh dari ke empatnya. Terlihat memang kedatangan Mas Abi telah di tunggu oleh kelimanya.

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang