Bagian 5Tau tidak, kadang hidup itu lucu.
Terkadang apa yang kita harapkan berbeda dengan kenyataan. Apa yang kita rencanakan tidak sesuai dengan realitanya.
Seperti Aku, tidak punya keinginan menikah muda tapi nyatanya Aku menikah. Dulu yang terbayang adalah Aku bertemu dengan laki-laki dan kami saling mencintai, menjalin hubungan beberapa lama sebelum memutuskan untuk menikah. Tetapi apa yang ku alami jauh berbeda dengan apa yang ku bayangkan. Di usia dua puluh tahun sudah menyandang status sebagai istri.
Jika orang lain melihat sosok Mas Abi mungkin akan berfikir siapapun yang menjadi istrinya akan merasa beruntung. Laki-laki dengan pekerjaan mapan dan juga tampan rupawan. Tetapi kenyataannya menjadi istri seorang Kafabi haruslah kuat mental dan juga tuli akan semua kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulutnya.
Pagi ini layaknya pagi kami yang biasa. Duduk bersebrangan di meja makan dan terfokus pada makanan masing-masing. Aku sudah menghabiskan sepiring nasi goreng buatanku, sementara Mas Abi masih menghabiskan sebagian. Selama Kami tinggal bersama, laki-laki itu memang tak pernah protes dengan makanan apa saja yang ku masak untuknya. Semua akan dimakan tanpa mengucap apapun. Entah enak ataupun tidak, Mas Abi selalu menghabiskan makanan yang ku siapkan untuknya.
Mas Abi meraih gelas di samping piringnya dan perlahan meneguknya sedang Aku berfokus pada arloji yang selalu ia pakai di pergelangan tangan kanan. Hari ini jam tangan itu lagi yang di pakai. Jam tangan hitam dengan logo merk brand ternama, aku yakin harganya mahal. Aku memang suka memperhatikan penampilanya setiap hari. Baju apa yang dipakai, dasi warna apa yang dipilih, semua ku perhatikan setiap hari. Dan dari pengamatan yang kulakukan Aku menyimpulkan bahwa jam tangan berwarna hitam itu yang spesial. Banyak koleksi jam tangan miliknya di rak tapi hanya itu yang selalu ia pakai. Mungkin itu favoritnya atau memang dari oramg yang istimewa, Mbak Zakia misalnya.
"Kenapa?"
Kenapa? Apa pertanyaan itu yang ada dalam kamusnya. Mana Aku mengerti maksud dari kata kenapa darinya.
"Kenapa Kamu lihat saya," tanyanya lagi.
"Mau ijin ke rumah Bunda, boleh?" Sekarang ganti Mas Abi yang menatapku. Sejak pindah kesini Aku belum berkunjung kerumah Bunda. Meski sering bertelpon tetap saja rasanya masih rindu kalau tidak bertemu.
"Tunggu saya pulang," titahnya.
"Kemaleman kalau nunggu Mas Abi pulang." Dia saja sampai rumah selalu lebih dari jam tujuh malam.
"Nggak, sama Saya nanti," putusnya.
"Aku bisa ke sana sendiri," jawabku belum juga mengalah. Masalahnya Aku tidak yakin dia pulang sore. Selama dua minggu ini saja dia selalu pulang malam.
Tanpa menangggapi ucapanku, Ia beranjak pergi, Aku menghela nafas menatap prihatin pada piring yang sudah kosong milik Mas Abi. Laki-laki itu benar-benar tak terbantahkan.
Tak lama kemudian Mas Abi berjalan ke arah pintu depan dengan tas yang biasa Ia bawa kerja. Aku membuntuti di belakang sampai Kami berdiri di samping mobil. Laki-laki itu mengulurkan tangan yang kemuadian kusambut dengan mencium tangannya. Tidak ada ucapan apapun darinya dan Aku masih berdiri di tempat yang sama sampai mobil itu menghilang dari pandanganku.
Entah kenapa Aku merasa ini berat buatku. Pernikahan ini rasanya tak normal saja.
Siapa yang akan berfikir ini normal Aini?. Batinku tertawa. Tidak ada suami istri yang tidak saling bicara dan tidur saling memunggungi. Kami terasa seperti dua orang asing yang dipaksa tinggal dalam satu atap yang sama.Mas Abi seperti memberi pembatas dalam hubungan Kami, Ia tak terlihat ingin mendekatkan hubungan Kami. Aku sudah berusaha membuka interaksi dengannya tapi laki-laki terasa sangat jauh untuk ku jangkau.
Aku tak pernah berhubungan dengan laki-laki secara emosional tapi sekalinya Aku memiliki hubungan kenapa dengan jalan yang seperti ini.
Seperti biasa, sore hari Aku menghabiskan waktu di halaman bersama beberapa tetangga sekitar rumah. Sampai jam menujukkan pukul setengah lima iMas Abi belum pulang, entah jadi ke rumah Bunda atau tidak Aku sudah malas menduga-duga. Kalau hari ini ia pulang malam lagi terserah besok dengan ijin ataupun tanpa ijin darinya Aku akan tetap pergi kerumah Bunda.
"Melamun kenapa, Ai?" sapa Bu Ida.
Sejak tadi Aku memang duduk diam di kursi yang sengaja di pasang di depan pagar rumah. Kursi panjang seperti halte bis yang bagian atasnya di pasang atap agar tidak kepanasan. Kursi seperti ini memang di pasang di beberapa spot di perumahan ini, salah satunya di depan rumah Mas Abi.
"Nggak apa-apa kok Bu," jawabku seadanya.
"Kamu dari tadi diem aja, mikirin apa?" tanya Bu Ida lagi yang ku tanggapi dengan senyuman sungkan. Gara-gara mikirin suami Aku jadi tak mendengarkan obrolan mereka.
"Lagi kangen suami kali Bu, maklum pengatin baru bawaannya kan pengen bareng terus."
Godaan dari salah satu ibu itu mengundang sorakan dari yang lain. Sementara Aku hanya tersenyum salah tingkah. Mereka tidak tau saja jika tidak ada perkembangan apapun dalam hubungan rumah tangga kami.Bersamaan dengan itu anak-anak yang tengah bermain serentak mengucap "Pak Abi pulang" saat melihat mobil Mas Abi memasuki pelataran rumah. Tanpa sadar senyumku merekah melihat kepulangan Mas Abi hingga membuat para ibu-ibu ini semakin mengejekku karena berfikir asumsi mereka benar tentang Aku yang kangen suami.
Padahal dalam hati Aku kegirangan karena artinya Mas Abi menepati janjinya untuk mengantarku ke rumah Bunda. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu Bunda setelah dua minggu Kami tak jumpa.
Aku mengikuti langkah Mas Abi memasuki rumah. Laki-laki itu melangkah cepat menuju kamar membuatku heran, biasanya dapur adalah tepat yang pertama ia tuju saat pulang kerja, memintaku mengambilkan minum baru setelahnya pergi ke kamar untuk bersih-bersih.
Tak mau berfikir aneh Aku mengikuti langkah Mas Abi ke kamar. Ternyata laki-laki itu sudah di dalam kamar mandi saat Aku masuk.
Ku Ambil sepasang pakaian yang biasa digunakan di rumah dan ku letakkan di atas kasur. Setelah itu Aku kembali ke dapur untuk membuatkan Mas Abi kopi. Jika pulang sebelum jam makan malam biasanya Mas Abi suka minum Kopi sembari menonton berita di tevisi. Kalo difikir-fikir Aku hafal sekali kebiasaan Mas Abi dirumah ya. Aku tersenyum dengan pemikiranku sendiri.Tak lama Aku mendengar langkah kaki mendekat, Mas Abi datang dengan pakaian rapi. Kemeja garis putih dengan celana panjang, kok tumben.
"Mas mau ke mana?" Tanpa sadar Aku melontarkan isi kepalaku.
Mas Abi yang tengah memasang kancing lengan kanannya pun menoleh padaku, "Saya mau keluar, mungkin pulang malam."
"Saya pergi dulu." Langkahnya yang lebar meninggalkanku yang masih diam di dapur. Aku bahkan belum mencerna dengan jelas ucapannya tapi laki-laki itu sudah pergi.
Lalu bagaimana dengan janjinya yang mau mengantarku ke rumah Bunda, Aku berbalik menghadap pantri lalu menatap kopi yang ku buat masih utuh di sana. Tak menunggu lama ku buang ke tempat cuci piring tanpa memcuci bekas cangkirnya. Biar saja Aku tak perduli lagi, Mas Abi juga tidak perduli dengan janjinya lalu kenapa Aku juga harus peduli dengan bekas cangkir kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat
ChickLitTakdir? Kita tak pernah tahu takdir apa yang akan kita jalani. Kita juga tak pernah tahu akhir seperti apa yang akan kita alami. Bagiku, Kamu adalah asing. Dan Bagimu, Aku adalah asing. Entah ini skenario Tuhan atau hanya lelucon alam. Namun ap...