Bagian 3

151 14 1
                                    


Pagi pertama dalam status yang berbeda. kalian mau tau rasanya?

Biasa aja.

Tidak ada yang berubah kecuali ada orang lain di sampingku saat membuka mata. Jangan berfikir akan ada drama kami pisah ranjang - karena itu ditolak keras oleh Mas Abi- atau ada teriakan pagi hari karena terkejut melihat orang asing di sampingku.

Tidak, Aku memang terkejut. Tapi tidak sampai menjerit atau menendang. Semua berjalan normal dan biasa saja.

Jangan pula berfikir akan ada bulan madu, membayangkannya saja sudah membuatku bergidik sendiri. Ingat kami menikah bukan atas dasar cinta, Kami bisa saling berkompromi saja rasanya sudah sangat bersyukur. Ya kan?

Pukul sembilan pagi setelah sarapan semua memutuskan untuk pulang, termasuk Aku dan Mas Abi. Kami pergi kerumah Bunda untuk mengambil barang-barangku yang nantinya akan dibawa kerumah Mas Abi. Laki-laki yang kini berstatus sebagai suamiku itu ternyata sudah memiliki rumah sendiri. Dan Dia berencana memboyong diriku kesana hari ini.

Aku menatap Bunda dengan hati sedih. Rasanya tak rela berpisah dengan Bunda. Meski Bunda itu cerewet tapi Aku tetap sayang.

Meski kadang Bunda suka sibuk sendiri tapi Aku nggak pernah kesepian. Aku salalu berfikir selama ada Bunda, Aku pasti baik-baik saja.

Dan sekarang Aku akan hidup terpisah dengan Bunda rasanya sungguh tak rela. Ibarat hidup, Bunda itu seperti udara yang selalu ku hirup setiap hari, Lebay. Tapi Aku tak pernah membayangkan akan seperti ini.

Bunda itu sering lupa makan, terkadang Aku akan cerewet mengingatkan Bunda makan. Terkadang saat Bunda harus lembur di ruang kerjanya hingga larut malam, Aku pasti akan menemani meski Aku lebih sering tidur di sofa. Dan jika Aku tak bersama Bunda siapa yang akan menemani Bunda, siapa yang akan memperhatikan Bunda.

Ah, rasanya ingin menangis saja, tapi malu.

"Mukanya nggak usah sok sedih gitu," ejek Bunda yang ku tanggapi dengan cibiran. Bunda tak terlihat sedih padahal sebentar lagi kami tidak akan tinggal satu rumah lagi.

Mas Abi tengah mengangkat barang-barangku ke dalam bagasi. Tadi begitu sampai dari hotel Mas Abi memintaku segera mengepak barang yang perlu ku bawa dan sore harinya Aku sudah diajak pindah kerumah baru.

"Bunda yakin mau tinggal sendiri?" tanyaku.

"Kamu fikir Bunda penakut kaya Kamu" ejek Bunda membuatku kesal. Bunda tampak bahagia melihatku pergi.

"Aku nanya serius Bunda, nggak peka banget deh kalo Aku lagi khawatir," protesku.

"Lebay Kamu. Lagian ada Mbak Marni yang nemenin Bunda," kata Beliau.

Mbak Marni adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan Bunda hampir tujuh tahun kalau tidak salah ingat. Ia seorang janda yang ditinggal pergi suaminya. Mbak Marni tidak pinya rumah jadi beliau tinggal di rumah kami.

"Abi, jagain Aini ya, anak ini emang suka bandel. Marahin aja kalo susah dibilangin." Bunda tersenyum menepuk lengan Mas Abi. Sementara Mas Abi mengangguk dan berjanji akan menjagaku dengan sebaik mungkin.

"Kamu nggak mau peluk Bunda?" Aku langsung merengek memeluk Bunda. Biarkan saja dilihat Mas Abi, siapa yang perduli. Aku kan memang lagi sedih.

"Jadi Istri yang berbakti ya, kurang-kurangi manjanya. Urus suami dengan baik. Jangan bikin Bunda malu." Wejangan Bunda membuatku cemberut.

Kenapa orang-orang berfikir Aku akan berbuat hal yang berpotensi membuat malu. Teringat ucapan Mas Abi semalam membuatku mendengus sebal, ternyata Bunda sama Mas Abi sama saja.

Setelah berpamitan dan mendengar rentetan wejangan dari Bunda, Kami berangkat menuju rumah baru. Aku tidak tau berada di daerah mana rumah yang akan Aku tinggali nanti, takut. Mas Abi kalau bicara selalu sinis padaku, jadi lebih baik Aku diam saja.

Sebelum mahgrib mobil Mas Abi tiba di sebuah rumah yang terletak di pusat kota. Aku bersyukur setidaknya rumah ini tidak jauh dari tempatku kuliah. Rumah yang tidak terlalu besar menurutku jika dibandingkan dengan rumah di sekitarnya tapi masih lebih besar dibanding rumah Bunda.

Terdiri dua lantai dengan balkon yang menghadap ke halaman depan. Dindingnya berwarna pastel membuatnya terlihat manis dengan ayunan yang di letakkan di depan rumah, terdapat pohon mangga yang tak begitu tinggi tapi cukup membuat suasana rumah menjadi rindang. Beberpa pot bunga di letakkan dengan rapi di halaman rumah. Dan garasi yang Aku tebak mampu menampung dua mobil.

Aku hanya mengekor di belakang Mas Abi yang kini tengah membuka pintu rumah. Aku penasaran seperti apa isi di dalam rumah. Begitu Aku menengok ke dalam rasa penasaranku lenyap begitu memandang foto Mas Abi dengan perempuan lain yang di cetak dengan ukuran besar di ruang tamu. Foto dengan baju pengantin di mana Mas Abi memeluk perempuan itu dan menatap kamera.

Melihat semua ini entah kenapa membuat rasa kecewaku membuncah untuk rumah ini. Apakah Aku bisa tinggal di sebuah rumah yang diperuntukkan untuk perempuan lain. Terlebih dengan sikap Mas Abi yang tak memperdulikan Aku. Dengan cueknya Mas Abi berjalan masuk ke dalam meninggalkan Aku yang masih berdiri di depan pintu.

"Apa Mas sengaja melakukan ini?" Pernyataanku membuat langkah Mas Abi berhenti. Laki-laki itu menatapku dengan alis terangkat.

"Kenapa? Ingin menegaskan posisiku yang hanya sebagai perempuan pengganti? Aku baru tahu kalo Mas orangnya sepicik itu."

Tentu saja itu hanya ku ungkap dalam hati. Mana berani Aku bilang langsung di depan singa jantan itu. Bisa-bisa leherku putus detik ini juga.

Melihatku yang tak ingin memberi penjelasan membuat Mas Abi kembali acuh.

Aku tahu kalau Mas Abi cinta sama dia, dan mungkin juga rumah ini diperuntukkan oleh perempuan itu. Rumah impian mereka. Membayangkan mereka mengatur tata letak rumah bersama membuatku kesal sendiri.

Mungkin Mas Abi sadar saat Aku tak kunjung juga melangkah masuk. Entah kenapa Aku mulai memikirkan apakah keputusanku adalah tindakan tepat. Apakah semua akan baik-baik saja atau justru hatiku yang akan tersakiti nantinya.

"Rumah ini memang Saya persiapkan untuk Zakia, jadi wajar kalau ada hal yang berhubungan dengan Zakia dirumah ini. Dia juga yang mengatur isi rumah termasuk memajang foto itu di sana."

Aku tahu. Tanpa dia menjelaskan Aku tau ini rumah siapa.

Baiklah Aini, selalu ingat siapa dirimu dirumah ini. Lindungi hatimu sendiri karena kelak jika dirimu terluka laki-laki di hadapanmu ini tak akan perduli.

Ya katakan Aku terlalu drama, biar saja. Meski Aku tau semua yang ku fikirkan belum tentu terjadi tapi tetap saja Aku harus memperdulikan diriku sendiri.

Dengan langkah pelan Aku melangkah masuk, mengikuti Mas Abi yang sepertinya menuju Kamar yang ada di lantai dua. Aku sudah tak perduli lagi dengan rumah, sebagus apapun itu jika dibuat untuk orang lain rasanya nggak ada manis-manisnya gitu.

Cemburu, tidak. Hanya saja lebih kepada merasa tidak dihargai saja. Biar bagaimanapun Aku berperan besar dengan adanya pernikahan ini jadi setidaknya Mas Abi bisa mengahargai posisiku sebagai istrinya sekarang.

Uangnya banyak tapi alih-alih membawaku pada rumah lain, ia justru menempatkan Aku pada rumah yang menjadi impiannya bersama wanita lain. Dan itu menggores egoku. Kenapa kita tidak di rumah Bunda atau sewa apartemen. Atau paling tidak bereskan foto-foto mereka dulu sebelum mengajakkun masuk kedalam.

Seharusnya bisa kan seperti itu. Namun alih-alih melakukan itu semua, Mas Abi justru membiarkan diriku melihat semua ini. Seakan dia ingin mengatakan kesalahan sebesar apapun yang telah dilakukan kekasihnya tak akan membuat cintanya hilang untuk perempuan itu.

Dan Aku akan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Kami.

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang